Rabu, 14 Agustus 2013

HADIST DAKWAH (Hadist-Hadist Tentang Metodologi Dakwah).



HADIST DAKWAH
(Hadist-Hadist Tentang Metodologi Dakwah).
Oleh: Prio Hotman


A.      Prolog

Hadist, seperti termuat dalam definisi ulama sebagai segala hal yang didasarkan atas referensi hidup Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau adalah penjelasan dari apa yang sudah ditetapkan dalam al Qur'an. Hal demikian dapat dipahami karena tugas beliau adalah menjelaskan serta mengaplikasikan ajaran-ajaran al Qur'an secara teoritis dan praktis sekaligus[1]. Sedangkan sunnah sebagai kebiasaan hidup Nabi, juga merupakan cerminan ajaran al Qur'an. Hal demikian dapat dipahami karena menurut keterangan yang didapat dari 'Aisyah, etika hidup Nabi SAW adalah ajaran al Qur'an itu sendiri[2]. Artinya, baik Hadits maupun Sunnah dapat eksis disebabkan karena eksistensi al Qur'an. Hal ini menjelaskan, bahwa semua keterangan yang didapat dari Hadist atau Sunnah harus dikonfirmasikan ulang terhadap apa yang dipaparkan dalam al Qur'an.
Jika berbicara mengenai Hadist tentang metodologi dakwah, maka hendaknya dikonfirmasikan terlebih dahulu tentang informasi al Qur'an dalam menjelaskan metode dakwah. Dalam al Qur'an, persoalan metode dakwah dirangkum dalam QS al Nahl/16: 125. "…berdakwahlah ke jalan Tuhanmu dengan metode hikmah, metode mau'izah hasanah, dan metode mujadalah hasanah….".  Dari ketiga metode tersebut, maka dikembangkanlah pelbagai metode dan teknis sesuai dengan kebutuhan dan keperluan dakwah. Rasulullah sendiri sebagai agen yang memiliki otoritas dalam menjelaskan al Qur'an, telah mengaplikasikan ketiga metode dakwah tersebut dalam banyak Hadist dan Sunnah beliau seperti akan dirinci dalam pembicaraan selanjutnya.
Sayyid Qutb dalam Fî Zhilâl al Qur'ân, menjelaskan bahwa metode Hikmah itu terkait tiga hal. Pertama, dakwah itu harus sesuai dengan situasi dan kondisi mad'u (ahwal al mukhatabin wa zhurufihim). Kaidah pertama ini kata Qutb berarti harus sesuai dengan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, politik dan kultural[3]. Kedua, materi dakwah itu harus cocok dan pas dengan kebutuhan mad'u dan tidak boleh overload, sehingga mad'u merasa terbebani sebelum ia melaksanakannya[4]. Ketiga, cara penyampaian dakwah harus tepat dan sesuai kebutuhan. Dakwah tidak boleh dilakukan dengan bernafsu dan menggebu sehingga melamapaui batas kearifan[5]. Metoda mau'izah hasanah, berarti dakwah dilakukan dengan nasihat yang masuk dan menyejukkan hati manusia, bukan yang dapat memerahkan telinga karena penuh unsur kecaman dan makian yang tidak pada tempatnya[6]. Terakhir, metode mujadalah hasanah berarti dakwah yang dilakukan dengan dialog yang demokratis, yakni dialog yang tidak mengandung unsur penganiayaan dan pemaksaan pendapat dengan melecehkan atau merendahkan lawan dialog[7]. Ketiga metoda inilah yang akan penulis paparkan melalui contoh-contoh aplikasi  dakwah nabi seperti terekam dalam pelbagai Hadist atau Sunnahnya.

B.       Hadist/Sunnah Tentang Metode Dakwah Hikmah.
1.    Dakwah Nabi Kepada Orang yang Tidak Mampu Membayar Kaffarat Puasa.
Teks Hadist:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ (رواه البخاري)

Terjemah Hadist :

"…suatu ketika kami duduk di sisi Rasulullah, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya kepada beliau : ya Rasulullah, celakalah aku. Jawab Rasul : kenapa engkau ini. Jawab orang itu : aku berjima' dengan istriku padahal aku sedang berpuasa. Kemudian Rasulullah bertanya balik: apakah engkau bisa memerdekakan seorang budak? Jawab: tidak bisa. Rasulullah : berpuasalah dua bulan berturut-turut. Jawab: aku tidak mampu. Rasulullah: berilah makan enampuluh orang miskin. Jawab: aku juga tidak mampu. Kemudian Rasulullah terdiam. Dalam situasi seperti itu, Rasulullah diberi sekantong berisi kurma. Kemudian Rasulullah bertanya: mana tadi orang yang bertanya. Jawab: saya ya Rasulullah. Rasulullah: ambil ini dan bersedekahlah dengannya. Jawab: kepada orang yang lebih fakir dariku ya Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga di sini yang lebih fakir dari keluargaku. Kemudian Rasulullah tersenyum sehingga terlihat gusinya seraya berkata "…ambillah dan berilah makan keluargamu…" HR. Bukhari[8].

Takhrij Hadist :
Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shaum fasal ketika berjima' di bulan Ramadlan dari sahabat Abu Hurairah seperti dikabarkan oleh 'Umaid Ibn 'Abd al Rahman seperti dikabarkan oleh Syu'aib dari Zuhri seperti diceritakan oleh Abu al Yaman. Hadist ini juga ditemukan dalam Musnad Ahmad dengan redaksi yang berbeda seperti yang diceritakan 'Aisyah kepada 'Abdullah Ibn Zubair, seperti diceritakannya kepada Ibn Ishaq. Orang ini (Ibn Ishaq) menceritakan hadist tersebut kepada Ya'qub yang kemudian sampai kepada Imam Ahmad Ibn Hanbal[9]. Pengarang kitab Subul al Salam dalam kitabnya meriwayatkan hadist ini dengan mentakhrijnya sebagai hadits sahih yang diriwayatkan oleh tujuh orang (sab'ah). Adapun redaksi yang digunakannya adalah redaksi riwayat Muslim[10].

Penjelasan Hadits :
Membaca hadist ini kemudian menghubungkannya dengan metode dakwah, akan diperoleh kesan dakwah dengan hikmah. Jika kembali kepada keterangan Sayyid Qutb, bahwa dakwah hikmah itu diantaranya terkait dengan kondisi dan situasi mad'u, baik kondisi sosial, politik, ekonomi maupun kultural, maka hadist ini relevan sekali bagi penulis sebagai sampel praktik dakwah hikmah nabi. Dalam hadits tersebut ditunjukkan dialog antara seorang laki-laki mukmin selaku mad'u yang meminta fatwa tentang hukum agama, dan Nabi selaku da'i yang dimintai fatwa karena dinilai sebagai pihak yang mengerti akan hukum-hukum agama.
 Pemahaman global terhadap Hadist ini akan mendorong pemikiran tentang pembenaran terhadap kemudahan hukum (syari'at) Islam. Islam adalah agama yang didirikan atas tiga aspek yang satu sama lainnya saling berkaitan, keimanan terhadap doktrin-doktrin agama (akidah), kepatuhan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan (syari'at), dan budipekerti serta keteladanan (akhlak). Syari'at sebagai satu bagian dari inti ajaran Islam tidak terpisah dari dua aspek lainnya, lebih dari itu syari'at bersama doktrin dan akhlak membentuk satu paket yang membentuk karakter seseorang agar memiliki keimanan yang kuat kepada Tuhannya.
Doktrin, merupakan dasar bangunan yang dengannya seorang mukmin diarahkan agar memiliki orientasi teologis-eskatologis. Melalui doktrin, seorang mukmin akan paham bahwa segala eksistensi yang tampak bukanlah tujuan hidupnya melainkan hanya alat atau sarana untuk menuju sesuatu yang lebih bernilai, yakni ketuhanan (transendental value) dan alam akhirat (life after death). Doktrin saja tidak cukup  karena wujudnya yang abstrak, lebih dari itu ia harus dikonkritkan dengan amalan-amalan real yang kaidah-kaidahnya telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan doktrin agama, amalan real itulah yang disebut dengan syari'at. Syari'at juga bukan tujuan agama yang sebetulnya, karena ia sekedar sarana untuk mewujudkan kesalehan mukmin dalam tiga aspek, kesalehan terhadap Tuhan, terhadap manusia, dan terhadap lingkungan sekitar. Karena syari'at hanya sebagai sarana, maka walaupun telah memiliki ketetapan-ketetapan baku karakteristiknya tidak statis, tapi fleksibel dan dinamis.
Aplikasi syari'at Islam sangat bergantung kepada situasi dan kondisi orang yang bersangkutan. Artinya, penerapan syari'at dalam situasi dan kondisi normal tidak bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi yang abnormal. Maka dalam kaidah hukum Islam dikenal istilah, al hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman ( penetapan hukum itu bergantung pada ada atau tidaknya alasan logis penetapan hukum tersebut), atau kaidah al masyaqqah tajlib al taysir (kesulitan situasi dan kondisi membawa kemudahan dalam penerapan hukum). Kedua kaidah hukum di atas sebetulnya ingin menegaskan, bahwa Tuhan memang menuntut kepatuhan hamba terhadap seluruh ketetapan hukum-Nya. Namun demikian, Ia tidak lupa bahwa di sisi lain manusia memiliki keterbatasan yang perlu mendapat keringanan. Karena itu Tuhan berfirman dalam kitabnya "….Allah tidak membebani manusia diluar batas kemampuannya…", juga berfirman "…Allah tidak menghendaki kesulitan atas kalian, tetapi menghendaki kemudahan…". 
Dalam kaitannya dengan dakwah, melalui watak dan fleksibilits hukum Islam da'i dituntut agar mampu memperkenalkan wajah Islam yang simpel. Karena pada hakekatnya ada tujuan yang lebih mendasar ketimbang hukum-hukum Islam yang formal, yaitu akhlak seorang mukmin kepada dirinya sendiri yang diwujudkan dengan kejujuran dan akhlak kepada Allah melalui usaha ketaatan yang maksimal. Dakwah tidak seharusnya terjebak dalam formalisasi agama sehingga kehilangan ruh dari agama itu sendiri. Formalisasi agama yang terjadi pada umat Yahudi, dikritik keras oleh al Qur'an dan dinilainya sebagai bagian dari penyimpangan agama[11]. Watak permisif yang terkandung dalam agama Kristen juga di kritik oleh Islam dan dinilainya menyimpang dari agama yang benar[12]. Karena hal itulah al Qur'an menegaskan bahwa umat Islam itu harus menjadi umat yang moderat (ummatan washatan), yang salah satu tafsirannya adalah moderat dalam hukum antara yang cenderung formalistis dan permissif. Rasulullah juga mewanti-wanti umat Islam agar dalam berdakwah hendaknya jangan mengikuti watak ekstrim ahl al kitab yang dianalogikan sebagai jika mereka masuk kelobang biawak sekalipun, umat Islam akan mengikutinya.
Kasus Hadist di atas merupakan contoh dakwah dengan metode Hikmah, yang salah satu pengertiannya –seperti diungkap Sayyid Qutb – adalah dakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi mad'u dalam pelbagai aspeknya. Dengan metode Hikmah ini, dakwah tidak akan kehilangan ruhnya dalam memperkenalkan esensi Islam seperti yang dikatakan Nabi "…sesungguhnya aku di utus untuk membangun suatu pencarian kebenaran (hanifiyyah) yang lapang (samhah)…". Menurut Ibn Hajar al 'Asyqalani dengan mengutip pendapat 'Abd al Ghaniy dalam Mubhammat, laki-laki yang bertanya kepada Nabi mengenai hukum kaffarat puasa ini adalah Sulaiman Ibn Sakhr al Bayadli[13]. Lelaki ini dalam hadist tersebut digambarkan sebagai mad'u yang memiliki kondisi ekonomi amat fakir, namun memiliki komitmen yang kuat terhadap agamanya. Hal demikian dibuktikannya melalui pengakuannya (confession) ketika ia melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum agama. Sesuai ketentuan yang baku, orang yang berpuasa (wajib) diharamkan untuk melakukan persetubuhan dengan istrinya di siang hari. Pelanggaran atas ketentuan hukum ini seorang muslim diwajibkan untuk memerdekakan seorang budak mukmin, jika tidak sanggup maka alternatifnya adalah puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak sanggup juga, maka alternatif terakhir adalah memberi makan enampuluh fakir miskin[14]. Dari ketiga alternatif hukuman yang diberikan Nabi, orang tersebut mengaku tidak sanggup menjalaninya. Sebagai da'i yang mengerti betul situasi dan kondisi mad'u yang dihadapinya, Nabi bahkan berinisiatif untuk memberikan makanan kepadanya agar dapat dijadikan sebagai kaffarat. Namun demikian, diakhir pengakuannya ia mengatakan bahwa diwilayah itu tidak ada orang yang lebih fakir darinya. Maka keputusan yang diambil beliau adalah menyuruh orang tersebut untuk mensedekahkan makanan pemberian beliau kepada keluarganya sebagai kaffarat.
Dari sudut pandang dakwah, keputusan yang diambil Nabi tersebut untuk memberi makan keluarga sebagai kaffarat puasa sangat tepat dan dibenarkan. Tindakan beliau tersebut merupakan perwujudan dari ajaran al Qur'an bahwa infaq (sedekah) itu yang pertama kali adalah kepada orang tua (keluarga),  jika ada kelebihan maka untuk kerabat, jika ada kelebihan maka untuk yatim, miskin, dan yang dalam perjalanan[15]. Keputusan tersebut juga selaras dengan pernyataan lain dalam hadits bahwa sedekah (infak) yang paling baik adalah kelebihan dari kebutuhan pokok, dan sedekah tersebut harus dimulai dari orang yang menjadi tanggungan (keluarga)[16]. Inilah contoh aplikasi dakwah dengan metode hikmah yang berarti dakwah dengan ilmu, dan ilmu itu diperoleh jika da'i mengerti dan memahami situasi dan kondisi mad'u.

2.Hadist/Sunnah Mengenai Fatwa Nabi Dalam Menjawab Pertanyaan Mad'u.
Teks Hadist:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Terjemah Hadist :

Dari Abu Hurairah RA., ia berkata Nabi pernah ditanya "…amal-amal apa yang lebih utama?..." jawab Rasulullah "…Iman kepada Allah dan Rasulnya…". Kemudian ditanya lagi, "…selanjutnya apa?..", jawab "…jihad di jalan Allah…", dikatakan "..selanjutnya apa..?", jawab "..haji mabrur…". HR. Bukhari.

Takhrij Hadist :

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab haji bab kitab haji mabrur yang disandarkan kepada Abu Hurairah dari Sa'id Ibn Musayyab dari Zuhri seperti diceritakan oleh Ibrahim Ibn Sa'd kepada 'Abd al 'Aziz Ibn 'Abdullah[17]. Hadist ini juga ditemukan dalam Sahih Muslim dalam kitab iman bab penjelasan keadaan iman kepada Allah dengan sanad seperti Bukhari hanya saja Ibn Musayyab meriwayatkan melalui jalur lain yakni Ibn Shihab yang juga memperoleh riwayat ini dari Ibn Sa'd seperti diberitakan oleh Muhammad Ibn Ja'far Ibn Ziyad dan juga cerita dari Mansur Ibn Abi Mazahim[18]. Sedangkan dalam Sunan Tirmidzi, hadits dengan sedikit redaksi tambahan "ayu al 'a'mâl khayr" juga didapat dari Abu Hurairah dengan jalur Abu Salamah seperti diceritakan Muhammad Ibn 'Amr dari 'Abdah Ibn Sulaiman seperti diceritakan oleh Abu Kuraib. Oleh al Tirmidzi hadits ini ditempatkan dalam bab permasalahan mengenai amalan apa yang utama[19]. 

Penjelasan Hadits :
Hal terkait berikutnya dengan dakwah hikmah adalah materi. Seperti dijelaskan Sayyid Qutb, salah satu karakteristik dakwah hikmah adalah materinya harus pas dan cocok dengan kebutuhan mad'u, tidak overload yang mengakibatkan mad'u merasa terbebani sebelum sanggup melaksanakannya. Jika demikian, maka dakwah hikmah mengharuskan adanya kesesuaian antara penyampaian materi dan kemampuan subyektif mad'u. Penyampaian dakwah harus dalam batas yang dicounter oleh mad'u, baik secara pemikiran (pemahaman), maupun pelaksanaannya. Statemen yang berbunyi "…ajak bicara manusia sesuai dengan kadar akal mereka…"[20], agaknya mengacu kepada penekanan materi dakwah hikmah. Maksud dari ungkapan tersebut jika dikaitkan dengan dakwah berarti perintah untuk berdakwah dengan memperhatikan kondisi subyektif mad'u. Artinya, materi dakwah harus dapat dicerna akal (thinkable) dari segi kemampuan kognitif dan dapat dilaksanakan (aplicable) dari segi kemampuan pisik.
Hadist di atas memuat dialog antara Nabi sebagai da'i dan penanya sebagai mad'u yang meminta fatwa mengenai amalan apa yang paling utama dalam Islam. Lebih lanjut menurut hadits tersebut jawaban beliau adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mengikuti jihad dan haji mabrur. Menarik dalam pembahasan ini, karena penelusuran terhadap kitab-kitab hadits mu'tabarah ditemukan adanya hadits dengan redaksi pertanyaan serupa kepada Nabi. Hadits riwayat Ibn Mas'ud misalnya, dengan pertanyaan yang sama, ditemukan jawaban yang berbeda dari Rasulullah. Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa amalan yang utama adalah shalat pada waktunya, berbuat baik kepada kedua orang tua, dan baru kemudian jihad di jalan Allah[21]. Sedangkan dalam Hadits Abu Daud dari 'Abdullah Ibn Hubsyi Rasulullah menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban Thul al Qiyam (memperpanjang raka'at dalam shalat)[22].
Pakar Hadits Ibn Rajab menambahkan satu riwayat bahwa amal yang paling utama adalah zikrullah. Ulama ini kemudian mencoba untuk menjelaskan tentang keragaman jawaban Rasul dalam menjawab satu pertanyaan yang sama tersebut, katanya masalah inilah yang membuat kesulitan pemahaman orang banyak[23]. Selanjutnya Ibn Rajab mencoba menjelaskan pandangan-pandangan disekitar maslah ini. Pandangan pertama mengatakan bahwa amalan yang paling utama yang dimaksud di sini adalah sebagian dari amalan terutama yang begitu banyak, bukan semata-mata amalan utama itu sendirian[24]. Pandangan kedua mengatakan bahwa Rasulullah menjawab pertanyaan berdasarkan pertimbangan subyektif mad'u. Maksudnya jawaban-jawaban Rasulullah di sini merupakan amalan yang paling utama baginya secara khusus yang belum tentu menjadi amalan utama bagi lainnya[25].
Baik pandangan tentang sebagian dari amalan utama atau amalan paling utama secara khusus, keduanya berangkat dari perbedaan mad'u sehingga mengharuskan pula perbedaan materi yang harus disampaikan kepada mereka. Walaupun materi yang disampaikan berbeda, - lanjut Ibn Rajab- bukan berarti penyampaian dakwah beliau tidak konsisten dan bertentangan satu dan lainnya[26]. Iman, shalat dan haji, kata Ibn Rajab, merupakan bangunan Islam yang lima (mabânî al khams) yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, jawaban Nabi tentang amalan yang paling sempurna dengan Iman, atau shalat atau haji pada hakekatnya adalah sama. Karena setiap penyebutan satu kategori adalah simbol yang mewakili penyebutan kategori lainnya (mabâni al khams bi jumlatiha).[27] Ulama ini kemudian mengutip hadits nabi berikut "empat hal yang tiga di antaranya tidak diterima kecuali dengan melengkapi keseluruhannya, yaitu shalat, puasa, zakat dan haji" HR Ahmad[28]. Ibn Rajab juga mengutip riwayat dari Huzaifah Ibn Yaman, bahwa jihad seperti juga amar ma'ruf nahi munkar merupakan bagian Islam (sahm min sihâm al islâm) yang bersama-sama dengan mabâni' al khams membentuk pilar-pilar penegak Islam. Oleh karenanya, dalam al Qur'an Allah senantiasa menyertakan antara keimanan dengan jihad. Misalnya dalam firman Allah QS al Hujarat/49: 15 yang terjemahannya demikian " sesungguhnya orang mukmin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan Harta dan jiwanya…" atau dalam firman Allah QS al Shaf/61: 11 yang terjemahannya demikian " engkau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan harta dan jiwa kalian…". Dengan hubungan seperti ini, maka dapat dipahami jawaban Nabi tentang jihad sebagai amalan yang paling utama setelah keimanan.
Adapun jawaban Nabi tentang perbuatan baik terhadap kedua orang tua sebagai amalan yang paling utama, karena perbuatan tersebut termasuk kedalam keutamaan hak hamba (huqûq al 'ibâd). Sementara mabâni' al khams seperti yang dijelaskan di atas merupakan hak Allah (huqûq Allah 'azza wa jalla). Di sisi lain ada keterikatan kuat antara hak Allah dan hak hamba yang tidak mungkin sempurna satu tanpa lainnya. Artinya, penunaian hak Allah semata tanpa disertai oleh penunaian hak hamba tidak akan menjadi amalan yang paling sempurna. Itulah sebabnya dalam hadits Ibn Mas'ud, penyebutan berbuat baik kepada orang tua sebagai hak hamba dijelaskan setelah penyebutan shalat yang merupakan hak Allah[29].
Keterkaitan materi tersebut adalah hal yang mesti dipahami dan dijadikan pertimbangan oleh da'i ketika dihadapkan oleh pertanyaan mad'unya. Jika dakwah hikmah mengharuskan kecocokkan antara materi dakwah dan kebutuhan mad'u, maka sepatutnya jawaban yang diberikan adalah juga yang sesuai dengan kondisi subyektif mad'u. Atas dasar logika ini, maka dapat dipahami pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan jawaban Nabi atas pertanyaan mad'unya merupakan jawaban khusus dengan mempertimbangkan subyektifitas sipenanya. Kekhususan jawaban itu, kata Ibn Rajab, terlihat ketika dihadapkan kepada Ibn Mas'ud yang secara subyektif masih memiliki Ibu dan telah lama masuk Islam[30]. Berbeda dengan Abu Hurairah, walaupun ia masih memiliki orang tua, namun baru belakangan masuk Islam sehingga masih perlu untuk dimotivasi akan arti Iman dan jihad[31]. Demikian itu salah satu contoh lain dari aplikasi dakwah hikmah seperti yang diajarkan rasul kepada juru dakwah.

2.      Hadits/Sunnah Tentang Tahapan Dalam Menyampaikan Dakwah.
Teks Hadist:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيْفِيٍّ عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
Terjemah hadist:
Rasulullah berkata kepada Mu'az Ibn Jabal ketika mengutusnya ke Negeri Yaman "…hai Mu'az, sesungguhnya engkau akan bertemu dengan sekelompok Ahl Kitab. Ketika nanti engkau telah bertemu mereka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Utusan Allah. Jika mereka menerimanya, maka beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menerimanya, beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan zakat yang dikolektif dari orang kaya mereka dan didistribusikan kepada orang-orang miskin mereka. Jika mereka menerima itu, maka hati-hatilah engkau dengan harta mereka yang dimuliakan, dan takutlah engkau akan do'a yang teraniaya. Karena hal tersebut tidak terhalang dari Allah.




Takhrij Hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur Ibn 'Abbas seperti diceritakannya kepada majikannya, Abu Ma'bad. Orang yang terakhir disebut ini kemudian menceritakannya kepada 'Abdullah Ibn Shayfi yang diteruskannya kepada Isma'il Ibn Umayyah seperti diceritakannya kepada Fadl Ibn 'Ala seperti diceritakan oleh Abdullah Ibn Abi Aswad. Bukhari mencatat hadits ini dalam kitabnya pada empat bab, pertama, dimulikannya harta milik manusia[32], kedua, diambilnya sadaqah dari orang kaya[33], ketiga, pengutusan Abu Musa dan Mu'az ke Yaman[34] dan keempat, perihal dakwah Nabi SAW[35]. kesemua ini diriwayatkan oleh jalur yang sama seperti dijelaskan di atas.
Muslim dalam kitab Sahih nya juga meriwayatkan hadits serupa dengan jalur sanad yang sama dengan Bukhari, hanya saja ia menerima hadits dari Abu Bakar Ibn Abi Syaybah sehingga redaksinya juga sedikit berbeda. Dalam Sahih Muslim, hadits yang tercatat redaksinya "fa a'limhum" sebagai ganti "fa akhbirhum" dalam hadits Bukhari[36]. Hadits seperti diriwayatkan Muslim juga diriwayatkan oleh al Tirmidzi dengan redaksi yang sama persis yang diterimanya dari Muhammad Ibn Abdullah Ibn al Mubarak[37].

Penjelasan Hadits :
Aspek ketiga yang disorot dalam dakwah hikmah menurut teori Sayyid Qutb adalah aspek penyampaian dakwah (tablîgh). Menurut Qutb, dakwah hikmah itu harus disampaikan dengan cara yang bijak dan tidak menggebu-gebu sehingga melampaui batas kearifan. Adapun yang dimaksud dengan penyampaian dakwah yang menggebu-gebu di sini adalah kehendak da'i yang terlamapu ideal sehingga tidak memperhatikan adanya faktor tahapan (tadarruj) dalam berdakwah. Islam sebagai tema yang dijadikan perhatian dalam dakwah, memiliki stratafikasi ajaran, dimulai dari yang esensial, kemudian dilanjutkan dengan ajaran penopang hingga yang bersifat ajaran-ajaran yang bersifat parsial. Semua itu disampaikan kepada mad'u dengan proses yang bertahap (tadarruj fi al da'wah) sesuai dengan prioritas dalam stratafikasi ajaran[38].
Menurut Ibrahim al Muthlaq, yang dinamakan dengan taddaruj dakwah adalah menyajikan dakwah (al taqaddum) kepada mad'u dengan cara bertahap agar dapat sampai kepada tujuan dakwah sesuai dengan metode khusus yang disyari'atkan[39]. Melalui metode tadarruj ini, menurut al Muthlaq, maka dakwah kepada muslimin berbeda dengan dakwah kepada non muslim. Dakwah kepada muslimin dilakukan dengan memperhitungkan kondisi mad'u dengan berorientasi agar berpegang teguh kepada ketaatan Allah dan Rasul-Nya serta mengamalkan ajaran al Qur'an dan Sunnah[40]. Sedangkan dakwah kepada non muslim dilakukan dengan mensosialisasikan akidah tauhid dan syari'at Islam[41].
Tauhid kata al Muthlaq, merupakan dasar di mana Islam didirikan, itulah sebabnya ia disebut agama tauhid. Esensi dari tauhid pada hakekatnya adalah menyendirikan Allah dalam hal peribadatan, itulah inti ajaran para rasul seperti diturunkan Allah melalui kitab-kitab-Nya[42]. Inilah hal pertama yang diperintahkan Rasul kepada Mu'adz ketika beliau mengutusnya untuk berdakwah di hadapan Ahl al Kitab Yaman. Ahlu Kitab sebagai senior dalam penerimaan risalah Allah, adalah kaum yang pernah mengenal ajaran tentang keesaan Allah. Namun demikian konsep ketauhidan dalam keyakinan Ahlu Kitab telah terkontaminasi oleh pandangan-pandangan yang keliru. Konsep tauhid yang benar, kata al Muthlaq, terdiri dari dua hal. Pertama, tauhid dalam hal pengetahuan (al ma'rifah) dan penetapan ketuhanan (al itsbat). Kedua, tauhid ketuhanan (uluhiyyah), yakni memurnikan peribadatan kepada Allah dari penyembahan mahluk, baik penyembahan malaikat, para nabi maupun yang lainnya[43]. Kata al Muthlaq, orang non muslim meyakini yang pertama, tapi tidak demikian dengan yang kedua[44]. Itulah sebabnya dalam riwayat lain hadits ini redaksinya berbunyi "maka hal pertama yang harus kau dakwahkan adalah ibadah kepada Allah". Perintah Nabi kepada Mu'adz dapat dipahami sebagai intruksi agar pertama yang mesti didakwahkan da'i kepada nonmuslim adalah ajakan untuk memurnikan tauhid dengan meninggalkan pengkultusan kepada Nabi atau mahluk lain setara dengan Tuhan. Kemurinan beribadah kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan ketaatan kepada apa yang disampaikan oleh utusan Allah. Itulah sebabnya dalam hadits ini, disetarakan antara ajakan untuk mendeklrasikan tauhid, dengan dakwah untuk pengakuan kerasulan Muhammad.
Tauhid kata al Muthlaq memiliki kaitan erat dengan syari'at. Jika tauhid mewajibkan eksistensi syari'at, maka syari'at merupakan wadah aktual bagi tauhid. Dengan pernyataan ini, maka dapat dipahami penafsiran Rasulullah dalam Sunahnya akan arti iman dengan "tauhid plus syari'at" seperti terbaca dalam potongan hadits Rasulullah berikut.
آمركم بالإيمان بالله وحده ، قال : " أتدرون ما الإيمان بالله وحده " ؟ قالوا : الله ورسوله أعلم ، قال : شهادة أن لا إله إلا الله ، وأن محمدًا رسول الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، وصوم رمضان ، وأن تعطوا من المغنم الخمس
" ….aku menyuruh kamu dengan iman kepada Allah semata. Apakah kamu mengerti apa itu iman kepada Allah semata. Dijawab " Allah dan Rasul-Nya lebih tahu" kata Rasul " (iman) yaitu bersaksi tiada tuhan selain Allah, Mengakui muhammad sebagai Rasul-Nya, mendirikan shlat, menunikan zakat, puasa ramadhan dan memberi seperlima dari hasil ternak…" HR Bukhari[45].

Atas dasar logika demikian, maka langkah berikutnya setelah mengakui tauhid dan kerasulan muhammad dalam tadarruj da'wah adalah mensosialisasikan syari'at. Demikian, karena syari'at merupakan buah yang harus muncul dari pengakuan terhadap tauhid[46]. Inilah wasiat berikutnya seperti disampaikan Rasulullah kepada Mu'adz sebagai da'i - agar menyampaikan syari'at Islam jikalau orang non muslim Yaman beriman - yang dalam hadits ini disimbolkan dengan berita untuk melakukan shalat sebagai syari'at yang berkaitan dengan Tuhan, dan shadaqah (zakat) sebagai syari'at yang mewakili hak manusia. Di akhir wasiat tersebut, Rasulullah berpesan kepada Mu'adz agar menjaga hak-hak kepemilikan yang telah ditunaikan kewajibannya. Dalam hal ini memang pengutusan Mu'adz ke Yaman dalam rangka dua hal. Pertama, menyiarkan Islam dan kedua, menegakkan politik di negeri tersebut. Wasiat Rasul untuk memberitakan tauhid dan syari'at adalah tugas beliau sebagai da'i. sedangkan wasiat Rasul untuk menjaga hak kepemilikan adalah dalam rangka tugas beliau sebagai politisi.
Inilah contoh dakwah hikmah seperti diwasiatkan Rasul kepada Mu'adz dan juga kepada para da'i. Dalam dakwah hikmah, dilarang keras untuk menyampaikan ajaran-ajaran parsial sebelum yang esensial, baik dengan maksud religiusitas (karena keinginan akan hidayah mad'u yang terlalu menggebu), apalagi untuk tujuan politik yang kotor. Karena hal demikian tidak akan menyampaikan maksud dari tujuan dakwah yang sebenarnya serta kehilangan nilai kearifannya, malahan menjadikan dakwah menjadi bahan lelucon yang murah.

C.      Hadits/Sunnah Nabi Tentang Metode Dakwah Mau'izah Hasanah.

Teks Hadits:
إِنَّ فَتًى شَابًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي بِالزِّنَا فَأَقْبَلَ الْقَوْمُ عَلَيْهِ فَزَجَرُوهُ قَالُوا مَهْ مَهْ فَقَالَ ادْنُهْ فَدَنَا مِنْهُ قَرِيبًا قَالَ فَجَلَسَ قَالَ أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأُمَّهَاتِهِمْ قَالَ أَفَتُحِبُّهُ لِابْنَتِكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِبَنَاتِهِمْ قَالَ أَفَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأَخَوَاتِهِمْ قَالَ أَفَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِعَمَّاتِهِمْ قَالَ أَفَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِخَالَاتِهِمْ قَالَ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ وَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ وَحَصِّنْ فَرْجَهُ فَلَمْ يَكُنْ بَعْدُ ذَلِكَ الْفَتَى يَلْتَفِتُ إِلَى شَيْءٍ

Terjemah Hadits:

"…sesungguhnya seorang perjaka belia pernah mendatangi Rasulullah SAW  kemudian ia berkata " wahai Rasulullah izinkan aku untuk melakukan zina ". kemudian para sahabat berdiri hendak memberi pelajaran seraya berkata "…enyah engkau..!!!". Rasulullah menyuruh para sahabat untuk membiarkannya dan mendekatkan duduk di sampingnya. Kemudian Rasulullah berkata "..apakah engkau rela jika ibumu berzina?", dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak rela jika ibunya berzina. Bagaimana jika anakmu yang berzina?" dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak rela jika anaknya yang berzina. Bagaimana jika pelakunya saudara perempuanmu?", dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak akan rela jika saudara perempuan mereka berzina. Bagaimana jika pelakunya bibimu?" dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul " begitupun orang tidak akan rela jika bibinya berzina". Kemudian Rasulullah meletakan tangannya di bahunya seraya berdoa " ya Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya. Setelah kejadian itu pemuda tersebut tidak lagi melakukan zina." HR. Ahmad.


Takhrij Hadits :

Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad Ibn Hanbal melalui jalur Abu umamah yang meneruskannya kepada Sulaim Ibn 'Amr. Orang yang disebut terakhir ini kemudian menceritakan riwayat ini kepada Hariz Ibn 'Utsman, kemudian diceritakan lagi kepada Yazid Ibn Harun hingga sampai kepada perawi (Ahmad Ibn Hanbal). Dalam Musnadnya, Ibn Hanbal meletakan  hadits ini pada bagian hadits-hadits Abu Umamah[47]. Hadits ini juga ditemukan dalam kitab Mu'jam Kabir karya monumental al Thabrany dengan sedikit perbedaan redaksi. Pada riwayat ini, kata bi al zina diganti dengan fi al zina, kemudian kata faaqbala al qoum diganti dengan fashaa ha al nas. Dalam riwayat ini juga ditambahkan kata aqirruhu idna sebagai ganti kata fadana minhu qariban. Jalur yang digunakan al Thabrany dalam meriwayatkan hadits ini sama dengan Ahmad, hanya saja  setelah Harits Ibn 'Utsman, jalur periwayatan berbelok kepada Abu al Yaman Hakam Ibn Nafi' dan Abu Yazid al Huty. Kedua orang tersebut kemudian meneruskan hadits ke Abu al Mughirah yang kemudian menceritakannya kepada Ahmad Ibn 'Abdul Wahhab al Huthy[48].
Seperti al Thabrani, al Bayhaqy juga meriwayatkan hadits serupa dengan redaksi berbeda. Dalam riwayat bayhaqy ini, kata i'zan li (izinkanlah aku) diganti dengan kata hal tuazzinu li (apakah engkau mengizinkan aku), sedangkan redaksi lainnya kelihatan mirip dengan periwayatan al Thabrany[49]. Dari segi jalurnya, hadits riwayat al Bayhaqy juga bersumber dari Abu Umamah dengan sanad persis seperti hadits imam Ahmad, namun sanad yang terdapat dalam al Bayhaqy kelihatannya lebih panjang karena setelah nama Yazid Ibn Harun masih ada beberapa nama-nama yang disebut sebagai sanadnya seperti Muhammad Ibn 'Abd al Malik al Daqiqy, Muhammad Ibn Muhammad al Ats'ats, Abu Ahmad Ibn al 'Ady al Hafidz serta Abu Sa'id al Maliny.

Penjelasan Hadits :
Selain dakwah hikmah, dalam penjelasan QS al Nahl juga disebut dakwah dengan metode mau'izah hasanah. Jika mengikuti teori Sayyid Qutb di awal pembahasan ini, maka unsur yang harus dipenuhi dalam metode ini ada tiga. Pertama, dakwah mau'izah hasanah harus mengandung unsur nasihat. Kedua, nasehat tersebut dapat menyejukan hati. Ketiga, nasehat tersebut tidak mengandung unsur kecaman dan makian yang membuat orang jera mendengarnya. Menurut pakar dakwah Shalih al Humaid, nasihat yang menyejukkan hati dan tanpa kecaman tersebut ditujukan untuk melembutkan hati lawan bicara (baca: mad'u) agar menjadi mudah untuk melakukan pelbagai kebajikan dan terurungkan dari melakukan maksiat[50].
Dalam buku Dakwah Fi al Islam, Sayyid Rizq al Thawil merangkum beberapa karakteristik dalam dakwah mau'izah hasanah. Pertama, dakwah mau'izah hasanah adalah dakwah dengan ucapan yang lembut yang bernuansa pertemanan (al rifq). Dengan demikian, menurut al Thawil mau'izah hasanah sebisa mungkin menghindari sikap kasar, garang serta ungkapan yang menyakitkan (qaswat al 'ibarat). Dakwah mau'izah hasanah tidak boleh mengandung unsur penghinaan atau membodohi orang, sebaliknya harus menguasai hati mad'u dengan cara menjauhi segala anggapan dan pikiran buruk tentang mad'u[51]. Kedua, dakwah mau'izah hasanah adalah dakwah dengan mengemukakan analogi yang fasih (fasahat al 'ibarat) dan menjauhkan dari istilah-istilah yang kurang pantas baik dari segi ucapan maupun artinya[52]. Ketiga, dakwah mau'izah hasanah menghendaki adanya efesiensi dalam ucapan dan menghindari sebisa mungkin perkataan yang tidak perlu untuk diungkapkan. Mau'izah hasanah juga harus bisa mengcounter sikap jahat yang kelewat batas dengan cara mengimbanginya dengan ucapan yang baik (idfa' bi allatî hiya ahsan). Keempat, mau'izah hasanah bukanlah dakwah dengan cara memutarbalikkan ucapan, sebaliknya dakwah harus mengganti semua cacian dan persangkaan buruk dengan ajakan untuk merenung dan berpikir tentang kebenaran[53]. Kelima, mau'izah hasanah adalah dakwah yang bisa memberi efek perubahan sikap yang lebih baik (al ta'tsir al 'athifi) melalui penjelasan yang memuaskan mad'u[54].
Hadits di atas menggambarkan bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan seorang da'i ketika menyampaikan nasehat Islam kepada mad'unya. Pertanyaan pemuda kepada Nabi yang meminta izin untuk berzina, adalah ungkapan seorang yang patuh terhadap agama namun tidak memahami esensi dari ajaran agama. Sikap keberagamaan seperti demikian ini kerap dijumpai pada kebanyakan orang pada umumnya (golongan awam). Kepatuhan terhadap agama yang dimaksud adalah kesadaran seorang muslim untuk menjadikan perintah Allah dan Rasul-Nya sebagai basic dalam menentukan sikap hidup dan perilaku.
Kejujuran si pemuda untuk meminta izin kepada Nabi untuk melakukan hal yang dikiranya lumrah, sebetulnya didasari oleh sikap kesadaran yang tinggi akan kepatuhan terhadap agama yang diyakininya. Namun ia tidak memahami esensi dan tujuan dari keyakinannya tersebut. Kepatuhan terhadap agama akan sempurna jika dilengkapi oleh pemahaman tentang esensi dan tujuan dari ajaran agama yang diyakini. Sebaliknya, kepatuhan semata tanpa pemahaman agama akan melahirkan formalisasi dalam beragama. Formalisasi dalam beragama biasanya ditampakkan dalam bentuk keinginan untuk melegitimasi kehendak pribadi (nafsu) melalui konfirmasi agama. Sikap demikian inilah yang tunjukkan sipemuda ketika ia hendak melegitimasi nafsu pribadinya untuk berzina dengan meminta perizinan nabi. Sikap naif dalam beragama seperti ini sebetulnya lahir dari innocent unknowledge (keluguan karena tidak memiliki pengetahuan) yang biasanya ditemukan pada orang awam.
Dalam dakwah, metode yang tepat untuk golongan orang yang memiliki sikap keberagamaan seperti tersebut adalah mau'izah hasanah. Dengan metode ini, hal berharga yang hendak diajarkan Rasulullah kepada da'i ketika menghalangi sahabat yang hendak ingin memberi pelajaran kepada pemuda – karena dikira melecehkan agama -  adalah keharusan untuk menghargai keimanan dengan menunjukkan sikap kelembutan dan kasih sayang dan membuang segala prasangka buruk terhadap mad'u. Inilah sikap yang dicontohkan oleh Rasul seperti tersebut dalam al Qur'an "…kasih sayang terhadap orang mukmin dan keras terhadap orang kafir…" (QS al Fath/48: 29), bukannya cacian dan makian.
Mau'izah hasanah juga mengharuskan adanya ajakan untuk berpikir tentang kebenaran melalui alur logika tamtsil (perumpamaan) yang efesien. Perhatikan bagaimana Rasul menanggapi pertanyaan pemuda dengan logika tamtsil tanpa memberi jawaban baik positif maupun negatif. Jika ditelaah lebih jauh, ditemukan dua tujuan pokok dari sikap demikian ini. Pertama, memahamkan mad'u akan tujuan dan esensi ajaran agama. Kedua, menghidupkan potensi (baca: naluri) kebaikan yang sebetulnya telah tertanam dalam jiwa manusia. Mengenai yang pertama, Rasulullah ingin menunjukkan kepada sipemuda bahwa ada alasan rasional dibalik perintah dan larangan agama terhadap suatu hal. Ajaran Islam tidak didasarkan atas dogma yang buntu, lebih dari itu ia didasarkan pada reason yang berorientasi pada kemaslahatan. Artinya Islam tidak hanya menyuruh atau melarang, tapi ada tujuan-tujuan mulia dibalik semua perintah dan larangan tersebut. Sedangkan mengeni potensi kebaikan, sebetulnya pada diri manusia telah tertanam naluri kebaikan sejak awal penciptaannya (fitrah). Dengan naluri itu, pada kondisi normal pada hakekatnya mudah bagi manusia untuk melakukan kebajikan dan berat hati manusia untuk melakukan kejahatan. Fitrah kebaikan itulah yang ingin dihidupkan Rasul melalui nasehat beliau kepada si pemuda, sehingga dengan sendirinya telah terjawab pertanyaan tanpa perlu lagi mengatakan "ya" atau "tidak". Dengan penjelasan yang memuaskan tersebut, maka dakwah mau'izah hasanah berhasil memberikan efek positif terhadap sikap mad'u seperti diceritakan di akhir hadits.

D.      Hadits/Sunnah Tentang Metode Dakwah Mujadalah Hasanah.
Teks Hadits :
أَنّ عُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ ، وَكَانَ سَيّدًا ، قَالَ يَوْمًا وَهُوَ جَالِسٌ فِي نَادِي قُرَيْشٍ ، وَرَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ وَحْدَهُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ ، أَلَا أَقُومُ إلَى مُحَمّدٍ فَأُكَلّمَهُ وَأَعْرِضَ عَلَيْهِ أُمُورًا لَعَلّهُ يَقْبَلُ بَعْضَهَا فَنُعْطِيهِ أَيّهَا شَاءَ وَيَكُفّ عَنّا ؟ وَذَلِكَ حِينَ أَسْلَمَ حَمْزَةُ وَرَأَوْا أَصْحَابَ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَزِيدُونَ وَيَكْثُرُونَ فَقَالُوا : بَلَى يَا أَبَا الْوَلِيدِ قُمْ إلَيْهِ فَكَلّمْهُ فَقَامَ إلَيْهِ عُتْبَةُ حَتّى جَلَسَ إلَى رَسُولِ اللّه صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي ، إنّك مِنّا حَيْثُ قَدْ عَلِمْتَ مِنْ السّطَةِ فِي الْعَشِيرَةِ وَالْمَكَانِ فِي النّسَبِ وَإِنّك قَدْ أَتَيْت قَوْمَك بِأَمْرِ عَظِيمٍ فَرّقْت بِهِ جَمَاعَتَهُمْ وَسَفّهْت بِهِ أَحْلَامَهُمْ وَعِبْت بِهِ آلِهَتَهُمْ وَدِينَهُمْ وَكَفّرْت بِهِ مَنْ مَضَى مِنْ آبَائِهِمْ فَاسْمَعْ مِنّي أَعْرِضْ عَلَيْك أُمُورًا تَنْظُرُ فِيهَا لَعَلّك تَقْبَلُ مِنْهَا بَعْضَهَا . قَالَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ قُلْ يَا أَبَا الْوَلِيدِ أَسْمَعْ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي ، إنْ كُنْت إنّمَا تُرِيدُ بِمَا جِئْتَ بِهِ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ مَالًا جَمَعْنَا لَك مِنْ أَمْوَالِنَا حَتّى تَكُونَ أَكْثَرَنَا مَالًا ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ بِهِ شَرَفًا سَوّدْنَاك عَلَيْنَا ، حَتّى لَا نَقْطَعَ أَمْرًا دُونَك ، وَإِنْ كُنْت تُرِيدُ بِهِ مُلْكًا مَلّكْنَاك عَلَيْنَا ؛ وَإِنْ كَانَ هَذَا الّذِي يَأْتِيك رِئْيًا تَرَاهُ لَا تَسْتَطِيعُ رَدّهُ عَنْ نَفْسِك ، طَلَبْنَا لَك الطّبّ ، وَبَذَلْنَا فِيهِ [ ص 294 ] غَلَبَ التّابِعُ عَلَى الرّجُلِ حَتّى يُدَاوَى مِنْهُ أَوْ كَمَا قَالَ لَهُ . حَتّى إذَا فَرَغَ عُتْبَةُ وَرَسُولُ اللّه صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَسْتَمِعُ مِنْهُ قَالَ أَقَدْ فَرَغْتَ يَا أَبَا الْوَلِيدِ ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاسْمَعْ مِنّي ؛ قَالَ أَفْعَلُ فَقَالَ بِسْمِ اللّهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ { حم تَنْزِيلٌ مِنَ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ كِتَابٌ فُصّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنّةٍ مِمّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ } ثُمّ مَضَى رَسُولُ اللّه صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِيهَا يَقْرَؤُهَا عَلَيْهِ . فَلَمّا سَمِعَهَا مِنْهُ عُتْبَةُ أَنْصَتَ لَهَا ، وَأَلْقَى يَدَيْهِ خَلْفَ ظَهْرِهِ مُعْتَمِدًا عَلَيْهِمَا يَسْمَعُ مِنْهُ ثُمّ انْتَهَى رَسُولُ اللّه صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ إلَى السّجْدَةِ مِنْهَا ، فَسَجَدَ ثُمّ قَالَ قَدْ سَمِعْتَ يَا أَبَا الْوَلِيدِ مَا سَمِعْتَ فَأَنْت وَذَاكَ [ مَا أَشَارَ بِهِ عُتْبَةُ عَلَى أَصْحَابِهِ ]
فَقَامَ عُتْبَةُ إلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضِ نَحْلِفُ بِاَللّهِ لَقَدْ جَاءَكُمْ أَبُو الْوَلِيدِ بِغَيْرِ الْوَجْهِ الّذِي ذَهَبَ بِهِ . فَلَمّا جَلَسَ إلَيْهِمْ قَالُوا : مَا وَرَاءَك يَا أَبَا الْوَلِيدِ ؟ قَالَ وَرَائِي أَنّي قَدْ سَمِعْتُ قَوْلًا وَاَللّهِ مَا سَمِعْت مِثْلَهُ قَطّ ، وَاَللّهِ مَا هُوَ بِالشّعْرِ وَلَا بِالسّحْرِ وَلَا بِالْكِهَانَةِ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ ، أَطِيعُونِي وَاجْعَلُوهَا بِي ، وَخَلّوا بَيْنَ هَذَا الرّجُلِ وَبَيْنَ مَا هُوَ فِيهِ فَاعْتَزِلُوهُ فَوَاَللّهِ لَيَكُونَنّ لِقَوْلِهِ الّذِي سَمِعْتُ مِنْهُ نَبَأٌ عَظِيمٌ فَإِنْ تُصِبْهُ الْعَرَبُ فَقَدْ كُفِيتُمُوهُ بِغَيْرِكُمْ وَإِنْ يَظْهَرْ عَلَى الْعَرَبِ فَمُلْكُهُ مُلْكُكُمْ وَعِزّهُ عِزّكُمْ وَكُنْتُمْ أَسْعَدَ النّاسِ بِهِ قَالُوا : سَحَرَك وَاَللّهِ يَا أَبَا الْوَلِيدِ بِلِسَانِهِ قَالَ هَذَا رَأْيِي فِيهِ فَاصْنَعُوا مَا بَدَا لَكُمْ .
Terjemah Hadits :
'Utbah Ibn Rabi'ah adalah seorang bangsawan terkemuka, ketika dalam suatu pertemuan ia mencoba membujuk Quraish dengan mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan Muhammad dan akan menawarkan kepadanya hal-hal yang barangkali mau menerimanya. Mereka mau memberikan apa saja yang dikehendakinya asal ia dapat dibungkam. Hal demikian itu terjadi ketika Hamzah masuk Islam dan pengikut Muhammad makin banyak. Quraish berkata " hai Abu Walid, pergilah dan bicaralah dengannya. Kemudian 'Utbah mendatangi Rasullah dan berkata kepadanya "…wahai keponakanku, seperti anda ketahui, dari segi keturunan anda mempunyai tempat di kalangan kami. Anda sekarang telah membawa soal besar ketengah-tengah masyarakat hingga tercerai berai. Sekarang dengarkanlah, kami akan menawarkan beberapa masalah, mungkin sebagiannya berkenan kau terima". Rasulullah menjawab " hai Abu Walid, aku siap mendengarkan". Utbah melanjutkan " kalau dalam hal ini kau menginginkan harta, kami siap mengumpulkan harta kami sehingga hartamu kan menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki pangkat, kami angkat engkau di atas kami semua dan kami tidak akan memutuskan perkara tanpa persetujuanmu. Jika engkau menginginkan menjadi raja, kami nobatkan kau sebagai raja kami. Jika engkau dihinggapi penyakit saraf yang tak dapat kau tolak sendiri, akan kami usahakan pengobatannya sampai sembuh dan kami yang akan menanggung biayanya". Setelah 'Utbah selesai dari bicaranya, Rasulullah berkata " apakah engkau sudah menyelesaikan ucapanmu?" dijawab " ya, sudah" kata Rasul " dengarkan sekarang aku mau bicara" kemudian Rasulullah membaca surah al Sajadah. Seusai dialog itu 'Utbah keluar dengan air muka yang berbeda ketika ia masuk ke tempat Rasulullah. Ia berkata kepada kaumnya " wahai Quraish aku mendengar suatu ucapan yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Itu bukan sihir dan mantra. Saranku biarkanlah lelaki itu dengan urusannya sendiri".


Takhrij Hadits :
Hadits ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits mu'tabarah (Bukhari, Muslim, Sunan al Arba'ah, dan Musnad Ahmad). Ibn Hisyam dalam sirahnya meriwayatkan hadits ini dari jalur Ibn Ishaq yang mendengarnya dari Yazid Ibn Ziyad dari Muhammad Ibn Ka'b al Qurazhy. Dalam jalur riwayat ini, orang yang tersebut terakhir tidak menyebutkan dari siapa ia mendengar riwayat ini. Orang tersebut merupakan orang dari golongan tabi'in dan oleh karena itu menurut ketentuan 'ulum al hadits, derajatnya adalah hadits maqtu'[55]. Ibn Katsir dalam Sirah Nabawiyahnya juga mengutip hadits tersebut, katanya hadits tersebut diriwayatkan oleh 'Abd Ibn Humaid dalam Mushafnya. Mengenai jalur periwayatnnya, Ibn Humaid mendapatkan hadits tersebut dari Abu Bakar Ibn Abi Syaybah seperti diceritakan oleh 'Ali Ibn Mashur dari 'Abdullah al Kindi dari Ziyal Ibn Harmilah al Asdy dari Jabir Ibn 'Abdillah. Orang yang tersebut terakhir ini adalah golongan sahabat, oleh karena itu haditsnya adalah mauquf[56].

Penjelasan Hadits :
Metode dakwah ketiga seperti tersebut dalam QS al Nahl adalah mujadalah hasanah. Seperti telah dijelaskan di muka, metode dakwah ini menurut Qutb adalah dakwah yang dilakukan dengan dialog yang demokratis, maksudnya dialog yang tidak mengandung unsur penganiayaan dengan pemaksaan pendapat atau melecehkan dan merendahkan argumen lawan bicara. Menurut 'Abdul Hamid Ibn Badis, jidal (debat) tidak identik dengan dakwah. Dakwah adalah satu hal, sedangkan debat adalah hal yang lain[57]. Namun demikian memang diakui, kata Ibn Badis, penggunaan debat untuk tujuan dakwah. Walaupun begitu, kedudukan debat dalam hal ini hanyalah berkedudukan sebagai cara yang diperbolehkan hanya dalam satu keadaan saja, yakni ketika dakwah dipertentangkan dengan argumen syubhat dan menyimpangkan dari jalan Allah[58]. Atas dasar pendapat ini, berarti jidal bisa menjadi terpuji atau tercela tergantung dari konteks di mana ia dipergunakan. Mujadalah hasanah, berarti debat yang hanya dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dakwah untuk menolak keraguan dan penentangan yang menyimpangkan kebenaran, lain tidak[59].
Merujuk pada hadits di atas, kasus yang dihadapi rasul adalah segolongan orang yang ragu akan kebenaran Islam. Dilatarbelakangi oleh keraguan tersebut, maka lahir argumen-argumen syubhat yang berasal dari subyektifitas lawan bicara. Subyektifitas yang dimaksud adalah sikap memandang lawan bicara hanya sebagai personal terlepas dari nilai-nilai yang disampaikan. Jika merujuk pada teori Ibn Badhis, dalam keadaan seperti inilah debat diperbolehkan sebagai jalan untuk menunjukkan kebenaran Allah.
 Sebagai da'i yang berpedoman pada prinsip mujadalah hasanah, Rasulullah melakukan dialog secara demokratis. Dialog yang demokratis, berarti tidak menghendaki adanya pemaksaan dalam pendapat atau memutus argumen sebelum selesai diutarakan. Hal demikian ditunjukkan melalui sikap beliau yang bersedia untuk mendengarkan dengan seksama argumen yang disampaikan lawan sampai selesai, baru setelah itu beliau mengutarakan argumen-argumennya. Dialog yang sehat seperti ini, bukan tidak mungkin mengubah persepsi orang, - walaupun tidak menerima- menjadi setidaknya menghormati. Perhatikan perubahan sikap yang terjadi pada 'Utbah Ibn Rabi'ah ketika selesai berdialog dengan Rasul. Inilah metode dakwah Mujadalah hasanah seperti dicontohkan Rasul, dakwah yang tidak ada pemakasaan pendapat, tidak ada pelecehan dan sabar dalam mendengarkan argumen lawan.
Wallahu A'alam Bissawab.


[1] Yusuf al Qardlawi, Marji'iyyat al 'Ulya li al Qur'an wa al Sunnah Dlawabith wa Mahazir li Fahmi al Tafsir, Alih Bahasa Baharuddin Fannani, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 62.
[2] Hadits mengenai ini diriwayatkan oleh Muslim dalam redaksi yang panjang dari 'Aisyah. Lihat Musim Ibn Hujaj al Qusyayri, Sahih Muslim, (Mauqi' al islam), Juz 4, h. 104, hadits ke 1233.
[3] Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zhilâl al Qur'ân, (Mauqi' al Islam), Juz 4, h. 497.
[4] Ibid.
[5] Ibid, h. 498.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Abu Isma'il al Bukhari, Sahih Bukhari, (Mauqi' al Islam), Juz 7, h. 24, hadist ke 1800 dalam Bab Puasa.
[9] Abu 'Abd Allah Ibn Muhammad Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 313, bagian  Musnad Sabiq.
[10] Muhammad Ibn Isma'il al Yamani al San'ani, Subul al Salam Syarh Bulugh al Maram Min Jam'-I  Adillat al Ahkam, (Kairo: Dar  al Hadist, 2004), Juz 2, h. 233. Lihat Muslim Ibn Hujaj al Qursayry, Sahih Muslim, (Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 428, Bab Puasa, Fasal kaffarat Puasa. Muslim juga meriwayatkan hadist dengan redaksi yang agak berbeda dengan riwayat Ibn 'Uyaynah, yaitu redaksi dari Muhammad Ibn  Muslim al Zuhri dengn Isnad yang sama. Hadist ini juga ditemukan dalam kitab Sunan Abu Daud, lihat Sulaiman al Sijistani Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mauqi' al Islam), Juz 6, h. 355. Lihat Juga Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 179. Lihat juga Abu 'Isa Ibn Muhammad Ibn 'Isa Ibn Tsaurah al Turmudzi, Sunan al Turmudzi, (Mauqi' al Islam), Juz 3, h. 168.
[11] Nurkholis Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, (Jakarta: Paramadina, 2009), Cet. Kedua, h. 149.
[12] Ibid, h. 150.
[13] Lihat Ibn Hajar al 'Asqalani, Fath al Bâri Fi Syarh Sahîh al Bukhâri, (Mauqi' al Islam), Juz 6, h. 188.
[14] Menurut QS al Baqarah/2: 187, orang yang berpuasa diharamkan berjima' di siang hari dan diperbolehkan di malam hari. Bagi pelanggarnya, hukumannya adalah disamakan seperti hukuman orang yang sumpah Zihar seperti ditentukan dalam QS al Mujadilah/58: 4. Lihat Abu Walid Muhammad Ibn hmad Ibn Rusd al Qurthubi al Andulusi, Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyyah, tt), Juz 1, h. 222.
[15] Lihat QS al Baqarah/2: 215.
[16] Rasulullah bersabada
خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
Lihat Abu Isma'il al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h. 247, hadist ke 1337 dari Abu Hurairah.
[17] Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h. 398, hadits ke 1422. Al Bukhari juga meriwayatkan hadits serupa dari jalur Abu Hurairah dan Abu Zar sekaligus dengan sedikit perbedaan redaksi. Pada hadits tersebut hanya disebut iman kepada Allah saja tanpa tambahan " wa Rasulihi" dan menghilangkan lafal haji mabrur. Lihat Ibid, Juz 23, h. 93, Bab Tafsir Qur'an.
[18] Muslim Ibn Hujaj al Qusayry, Op.Cit, Juz 1, h. 231, hadits ke 118. Hadits yang terdapat dalam kitab Sahih Muslim tersebut hanya menyebutkan iman kepada Allah seperti hadits Bukhari yang melalui jalur tambahan Abu Zar. Muslim juga meriwayatkan hadits yang sama dengan redaksi sedikit berbeda dari Abu Zar dengan menghilangkan tambahan haji mabrur seperti hadits Bukhari dan ditambah lagi dengan pertanyaan " bagaimana memerdekakan budak yang paling sempurna?" dijawab "…yang paling baik dan paling mahal harganya" ditanya lagi " jika aku tidak bisa mengerjakan" dijawab " engkau menolong orang yang mengerjakan perbuatan baik" ditanya "jika aku lemah dari melakukan amal-amal baik?" dijawab "..engkau mencegah diri kalian dari berbuat jahat kepada manusia, hal demikian itu sesungguhnya menjadi sedekah atas diri kalian…" lihat Musim, Ibid, Juz 1, h. 232 dalam bab penjelasan Iman kepada Allah.
[19] Abu 'Isa Ibn Tsaurah al Tirmidzi, Op.Cit, Juz 6, h. 219, hadits ke 1582. Lihat juga Abu al Fadl al Sayyid al Mu'athi al Naury, Musnad al Jami', (Mauqi' al Islam), Juz 8, h. 78.
[20] Fathi Yakan, Kaifa Nad'u Ila al Islam, (Beirut: Muassasah al Risalah, 1991), Cet. Ke 13, h. 28.
[21] Lihat Abu Isma'il al Bukhari, Op.Cit, Juz 23, h. 66, hadits ke 6980 dari Ibn Mas'ud. Abu Daud meriwayatkan hadits yang redaksinya sama dari Ummu Farwah dengan membuang tambahan birr al walidayni dan al jihad fi sabilih. Lihat Sulaiman Ibn 'Ast'ats al Sijistani Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mauqi' al Islam), Juz 2, h. 15, hadits ke 362, dalam Bab menjaga waktu shalat.
[22] Lihat Sulaiman Ibn 'Asy'ats, Op.Cit, Juz  4, h. 94 hadits ke 1129. Dalam bab lain melalui jalur yang sama Abu Daud menambah redaksi shadaqah apa yang paling utama? Dijawab " melawan sifat kikir" kemudian ditanya lagi hijrah apa yang paling utama?, dijawab " yaitu hijrahnya orang dari apa yang diharamkan Allah kepadanya", ditanya lagi " jihad apa yang paling utama?" dijawab " jihadnya orang melawan orang musyrik dengan jiwa dan hartanya", ditanya lagi " mati apa yang paling mulia?" dijawab " matinya orang yang tertumpah darahnya (karena membela kebenaran) dan terluka tubuhnya. Lihat Ibid, h. 240, hadits ke 1238.
[23] Zain al Din Abi Faraj  Ibn Rajab al Hanbaly, Fath al Bary Li Syarh Sahih Bukhari, (Mauqi' al Durar al Saniyyah), Juz 4, h. 18.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid, h. 19.
[27] Ibid, h. 20.
[28] Lihat Abu 'Abdullah Ahmad Ibn Hanbal, Op.Cit, Juz 36, h. 195, hadits ke 17121 dari Ziyad Ibn Nu'aim.
[29] Zain al Din Ibn Rajab al Hanbaly, Loc.Cit.
[30] Ibid, h. 18. 'Abdullah Ibn Mas'ud masih memiliki hubungan darah dengan Rasulullah. Ia masuk islam ketika periode dakwah Mekah (di Dar al Arqam) dan umurnya masih kecil (16 tahun) dan ia merupakan pemuda yang paling dicintai Rasulullah. Setelah masuk Islam, Ibn Mas'ud berkhidmat pada dakwah Rasulullah. Lihat 'Abdurrahman Ra'fat al Basya, Suar Min Hayat al Sahabah, (Beirut: Dar al Nafa'is, 1992), Cet. Pertama, h. 98-99. Lihat juga Khalid Muhammad Khalid, al Rijal Haula al Rasul, (Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiah, 2004), Cet. Kedua, h. 130.
[31] Abu Hurairah masuk Islam melalui orang sesukunya yakni Thufail Ibn 'Amr al Dusy pada tahun keenam setelah Hijrah setelah datang utusan Nabi kepada kaumnya. Ketika masuk Islam, umurnya masih belia dan dia giat melayani Rasul dan membantunya dalam berbagai keperluan dakwah. Lihat 'Abdurrahman Ra'fat al Basya, Op.Cit, h. 480.
[32] Lihat Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h. 298, hadits ke 1365. Hadits ini diperoleh al Bukhari dari Umayyah Ibn Bushtham dengan perbedaan redaksi hadits demikian " falyakun awwalu ma tad'uhum ilaihi 'ibadat Allah, dan  " faizda 'arafu". Kemudian pada akhir redaksi hadits tersebut juga terdapat perbedaan " fakhuz minhum watawaqqa karaima amwal al nas".
[33] Ibid, Juz 5, h. 356, hadits ke 1401. Pada  redaksi hadits ini digunakan kata " faidza 'atha'u laka bidzalika" dan kata "karaima amwalihim".
[34] Ibid, Juz 13, h. 243, hadits ke 4000.  Redaksi hadits ini digunakan kata "tha'u" dengan menghilangkan hamzah.
[35] Ibid, Juz 22, h. 363, hadits ke 6824. Redaksi hadits ini serupa dengan hadits yang pada bab kehormatan harta manusia, hanya saja pada awal hadits digunakan kata "an yuwahidu Allah", kemudian kata " fain fa'alu" pada bab ini diganti dengan kata "fain shallu". Sedangkan kata " fain atha'u" pada hadits terdahulu diganti dengan kata " fain aqarru".
[36] Lihat Muslim Ibn Hujaj al Qusayri, Op.Cit, Juz 1, h. 111, hadits ke 27.
[37] Lihat al Tirmidzi, Op.Cit, Juz 8, h. 279, hadits ke 2475.
[38] Baca Ahmad 'Umar Hasyim, al Da'wah al Islamiyyah: Manhâjuha wa Ma'âlimuha, (Kairo: Dar al Gharîb, tt), h. 17.
[39] Ibrahim Ibn 'Abdullah al Mutlaq, Tadarruj Fi al Da'wah Ila Allah, (Arab Saudi: wizarat al Syu'ûn al Islâmiyyah wa al Auqâf wa al Da'wah wa al Irsyâd Markaz Buhûts Dirâsat al Islâmiyah, 1992), Cet. Pertama, h. 12.
[40] Ibid, h. 14.
[41] Ibid, h. 15.
[42] Ibid, h. 21.
[43]Baca  Ibid, h. 22-23.
[44] Ibid.
[45] Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 1, h. 92, hadits ke 51, dari Syu'bah Ibn Abi Hamzah.
[46] Ibrahim al Muthlaq, Op.Cit, h. 36.
[47] Lihat Ahmad Ibn Hanbal, Op.Cit, Juz 45, h. 180, hadits ke 21185.
[48] Thabrani, al Mu'jam al Kabir Li al Thabrany, (Mauqi' al Hadits), Juz 7, h. 177, hadits ke 7577.
[49] Al Bayhaqy, Syu'b al Iman Li al Bayhaqy, (Mauqi' al Sunnah), Juz 11, h. 399, Hadits ke 5181.
[50]  Shalih Ibn 'Abdullah al Humaid, Mafhum al Hikmah Fi Da'wah Ila Allah, (Saudi Arabia: Mentri Urusan Keislaman, Dakwah dan Pendidikan, 2001), h. 7.
[51] Sayyid Rizq Thawwil, al Da'wah Fi al Islam: 'Aqidah wa Manhaj, (Mekah: Mathba'ah Rabithah al 'Alam al Islami, tt), h. 92.
[52] Ibid, h. 94.
[53] Ibid, h. 96.
[54] Ibid, h. 97.
[55] Lihat Abu Muhammad 'Abd al Malik Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam, (Mauqi' al Islam), Juz 1, h. 292.
[56] Lihat Abu Fida' Ibn Katsir, Sirah Nabawiyyah Li Ibn Katsir, (Mauqi' al Ya'sub), Juz 1, h. 501.
[57] 'Abdul Hamid Ibn Badis, al Durar al Ghaliyah Fi Adab al Da'wah wa al Da'iah, (Riyadl: Dar al Manar, tt), h. 44.
[58] Ibid.
[59] Ibid.

1 komentar: