HADIST
DAKWAH
(Hadist-Hadist
Tentang Metodologi Dakwah).
Oleh:
Prio Hotman
A.
Prolog
Hadist, seperti termuat dalam definisi ulama sebagai
segala hal yang didasarkan atas referensi hidup Nabi SAW, baik perkataan,
perbuatan atau persetujuan beliau adalah penjelasan dari apa yang sudah
ditetapkan dalam al Qur'an. Hal demikian dapat dipahami karena tugas beliau
adalah menjelaskan serta mengaplikasikan ajaran-ajaran al Qur'an secara
teoritis dan praktis sekaligus[1].
Sedangkan sunnah sebagai kebiasaan hidup Nabi, juga merupakan cerminan ajaran
al Qur'an. Hal demikian dapat dipahami karena menurut keterangan yang didapat
dari 'Aisyah, etika hidup Nabi SAW adalah ajaran al Qur'an itu sendiri[2].
Artinya, baik Hadits maupun Sunnah dapat eksis disebabkan karena eksistensi al
Qur'an. Hal ini menjelaskan, bahwa semua keterangan yang didapat dari Hadist
atau Sunnah harus dikonfirmasikan ulang terhadap apa yang dipaparkan dalam al
Qur'an.
Jika berbicara mengenai Hadist tentang metodologi
dakwah, maka hendaknya dikonfirmasikan terlebih dahulu tentang informasi al
Qur'an dalam menjelaskan metode dakwah. Dalam al Qur'an, persoalan metode
dakwah dirangkum dalam QS al Nahl/16: 125. "…berdakwahlah ke jalan Tuhanmu
dengan metode hikmah, metode mau'izah hasanah, dan metode mujadalah hasanah….". Dari ketiga metode tersebut, maka
dikembangkanlah pelbagai metode dan teknis sesuai dengan kebutuhan dan
keperluan dakwah. Rasulullah sendiri sebagai agen yang memiliki otoritas dalam
menjelaskan al Qur'an, telah mengaplikasikan ketiga metode dakwah tersebut
dalam banyak Hadist dan Sunnah beliau seperti akan dirinci dalam pembicaraan
selanjutnya.
Sayyid Qutb dalam Fî Zhilâl al Qur'ân, menjelaskan bahwa
metode Hikmah itu terkait tiga hal. Pertama, dakwah itu harus sesuai
dengan situasi dan kondisi mad'u (ahwal al mukhatabin wa zhurufihim).
Kaidah pertama ini kata Qutb berarti harus sesuai dengan kondisi lingkungan
sosial, ekonomi, politik dan kultural[3].
Kedua, materi dakwah itu harus cocok dan pas dengan kebutuhan mad'u dan
tidak boleh overload, sehingga mad'u merasa terbebani sebelum ia
melaksanakannya[4]. Ketiga,
cara penyampaian dakwah harus tepat dan sesuai kebutuhan. Dakwah tidak boleh
dilakukan dengan bernafsu dan menggebu sehingga melamapaui batas kearifan[5].
Metoda mau'izah hasanah, berarti dakwah dilakukan dengan nasihat yang masuk dan
menyejukkan hati manusia, bukan yang dapat memerahkan telinga karena penuh
unsur kecaman dan makian yang tidak pada tempatnya[6].
Terakhir, metode mujadalah hasanah berarti dakwah yang dilakukan dengan dialog
yang demokratis, yakni dialog yang tidak mengandung unsur penganiayaan dan
pemaksaan pendapat dengan melecehkan atau merendahkan lawan dialog[7].
Ketiga metoda inilah yang akan penulis paparkan melalui contoh-contoh aplikasi dakwah nabi seperti terekam dalam pelbagai
Hadist atau Sunnahnya.
B.
Hadist/Sunnah
Tentang Metode Dakwah Hikmah.
1.
Dakwah
Nabi Kepada Orang yang Tidak Mampu Membayar Kaffarat Puasa.
Teks Hadist:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا
قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ
لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ
الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ
فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ
لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ
أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ (رواه البخاري)
Terjemah Hadist :
"…suatu ketika kami duduk di sisi Rasulullah, tiba-tiba datang
seorang laki-laki dan bertanya kepada beliau : ya Rasulullah, celakalah aku.
Jawab Rasul : kenapa engkau ini. Jawab orang itu : aku berjima' dengan istriku
padahal aku sedang berpuasa. Kemudian Rasulullah bertanya balik: apakah engkau
bisa memerdekakan seorang budak? Jawab: tidak bisa. Rasulullah : berpuasalah
dua bulan berturut-turut. Jawab: aku tidak mampu. Rasulullah: berilah makan
enampuluh orang miskin. Jawab: aku juga tidak mampu. Kemudian Rasulullah
terdiam. Dalam situasi seperti itu, Rasulullah diberi sekantong berisi kurma.
Kemudian Rasulullah bertanya: mana tadi orang yang bertanya. Jawab: saya ya
Rasulullah. Rasulullah: ambil ini dan bersedekahlah dengannya. Jawab: kepada
orang yang lebih fakir dariku ya Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga di
sini yang lebih fakir dari keluargaku. Kemudian Rasulullah tersenyum sehingga
terlihat gusinya seraya berkata "…ambillah dan berilah makan
keluargamu…" HR. Bukhari[8].
Takhrij Hadist :
Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shaum fasal ketika
berjima' di bulan Ramadlan dari sahabat Abu Hurairah seperti dikabarkan oleh
'Umaid Ibn 'Abd al Rahman seperti dikabarkan oleh Syu'aib dari Zuhri seperti
diceritakan oleh Abu al Yaman. Hadist ini juga ditemukan dalam Musnad Ahmad dengan
redaksi yang berbeda seperti yang diceritakan 'Aisyah kepada 'Abdullah Ibn
Zubair, seperti diceritakannya kepada Ibn Ishaq. Orang ini (Ibn Ishaq)
menceritakan hadist tersebut kepada Ya'qub yang kemudian sampai kepada Imam
Ahmad Ibn Hanbal[9].
Pengarang kitab Subul al Salam dalam kitabnya meriwayatkan hadist ini dengan
mentakhrijnya sebagai hadits sahih yang diriwayatkan oleh tujuh orang (sab'ah).
Adapun redaksi yang digunakannya adalah redaksi riwayat Muslim[10].
Penjelasan Hadits :
Membaca hadist ini kemudian
menghubungkannya dengan metode dakwah, akan diperoleh kesan dakwah dengan
hikmah. Jika kembali kepada keterangan Sayyid Qutb, bahwa dakwah hikmah itu
diantaranya terkait dengan kondisi dan situasi mad'u, baik kondisi sosial,
politik, ekonomi maupun kultural, maka hadist ini relevan sekali bagi penulis
sebagai sampel praktik dakwah hikmah nabi. Dalam hadits tersebut ditunjukkan
dialog antara seorang laki-laki mukmin selaku mad'u yang meminta fatwa tentang
hukum agama, dan Nabi selaku da'i yang dimintai fatwa karena dinilai sebagai
pihak yang mengerti akan hukum-hukum agama.
Pemahaman global terhadap Hadist ini akan
mendorong pemikiran tentang pembenaran terhadap kemudahan hukum (syari'at)
Islam. Islam adalah agama yang didirikan atas tiga aspek yang satu sama lainnya
saling berkaitan, keimanan terhadap doktrin-doktrin agama (akidah), kepatuhan
terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan (syari'at), dan budipekerti serta
keteladanan (akhlak). Syari'at sebagai satu bagian dari inti ajaran Islam tidak
terpisah dari dua aspek lainnya, lebih dari itu syari'at bersama doktrin dan
akhlak membentuk satu paket yang membentuk karakter seseorang agar memiliki
keimanan yang kuat kepada Tuhannya.
Doktrin, merupakan dasar bangunan
yang dengannya seorang mukmin diarahkan agar memiliki orientasi
teologis-eskatologis. Melalui doktrin, seorang mukmin akan paham bahwa segala
eksistensi yang tampak bukanlah tujuan hidupnya melainkan hanya alat atau
sarana untuk menuju sesuatu yang lebih bernilai, yakni ketuhanan (transendental
value) dan alam akhirat (life after death). Doktrin saja tidak
cukup karena wujudnya yang abstrak,
lebih dari itu ia harus dikonkritkan dengan amalan-amalan real yang
kaidah-kaidahnya telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan doktrin agama, amalan
real itulah yang disebut dengan syari'at. Syari'at juga bukan tujuan agama yang
sebetulnya, karena ia sekedar sarana untuk mewujudkan kesalehan mukmin dalam
tiga aspek, kesalehan terhadap Tuhan, terhadap manusia, dan terhadap lingkungan
sekitar. Karena syari'at hanya sebagai sarana, maka walaupun telah memiliki
ketetapan-ketetapan baku karakteristiknya tidak statis, tapi fleksibel dan
dinamis.
Aplikasi syari'at Islam sangat
bergantung kepada situasi dan kondisi orang yang bersangkutan. Artinya,
penerapan syari'at dalam situasi dan kondisi normal tidak bisa diterapkan dalam
situasi dan kondisi yang abnormal. Maka dalam kaidah hukum Islam dikenal
istilah, al hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman ( penetapan
hukum itu bergantung pada ada atau tidaknya alasan logis penetapan hukum
tersebut), atau kaidah al masyaqqah tajlib al taysir (kesulitan situasi
dan kondisi membawa kemudahan dalam penerapan hukum). Kedua kaidah hukum di
atas sebetulnya ingin menegaskan, bahwa Tuhan memang menuntut kepatuhan hamba terhadap
seluruh ketetapan hukum-Nya. Namun demikian, Ia tidak lupa bahwa di sisi lain
manusia memiliki keterbatasan yang perlu mendapat keringanan. Karena itu Tuhan
berfirman dalam kitabnya "….Allah tidak membebani manusia diluar batas
kemampuannya…", juga berfirman "…Allah tidak menghendaki
kesulitan atas kalian, tetapi menghendaki kemudahan…".
Dalam kaitannya dengan dakwah,
melalui watak dan fleksibilits hukum Islam da'i dituntut agar mampu
memperkenalkan wajah Islam yang simpel. Karena pada hakekatnya ada tujuan yang
lebih mendasar ketimbang hukum-hukum Islam yang formal, yaitu akhlak seorang
mukmin kepada dirinya sendiri yang diwujudkan dengan kejujuran dan akhlak
kepada Allah melalui usaha ketaatan yang maksimal. Dakwah tidak seharusnya
terjebak dalam formalisasi agama sehingga kehilangan ruh dari agama itu
sendiri. Formalisasi agama yang terjadi pada umat Yahudi, dikritik keras oleh
al Qur'an dan dinilainya sebagai bagian dari penyimpangan agama[11].
Watak permisif yang terkandung dalam agama Kristen juga di kritik oleh Islam
dan dinilainya menyimpang dari agama yang benar[12].
Karena hal itulah al Qur'an menegaskan bahwa umat Islam itu harus menjadi umat
yang moderat (ummatan washatan), yang salah satu tafsirannya adalah
moderat dalam hukum antara yang cenderung formalistis dan permissif. Rasulullah
juga mewanti-wanti umat Islam agar dalam berdakwah hendaknya jangan mengikuti
watak ekstrim ahl al kitab yang dianalogikan sebagai jika mereka masuk kelobang
biawak sekalipun, umat Islam akan mengikutinya.
Kasus Hadist di atas merupakan
contoh dakwah dengan metode Hikmah, yang salah satu pengertiannya –seperti
diungkap Sayyid Qutb – adalah dakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi
mad'u dalam pelbagai aspeknya. Dengan metode Hikmah ini, dakwah tidak akan
kehilangan ruhnya dalam memperkenalkan esensi Islam seperti yang dikatakan Nabi
"…sesungguhnya aku di utus untuk membangun suatu pencarian kebenaran
(hanifiyyah) yang lapang (samhah)…". Menurut Ibn Hajar al 'Asyqalani
dengan mengutip pendapat 'Abd al Ghaniy dalam Mubhammat, laki-laki yang
bertanya kepada Nabi mengenai hukum kaffarat puasa ini adalah Sulaiman Ibn
Sakhr al Bayadli[13].
Lelaki ini dalam hadist tersebut digambarkan sebagai mad'u yang memiliki
kondisi ekonomi amat fakir, namun memiliki komitmen yang kuat terhadap
agamanya. Hal demikian dibuktikannya melalui pengakuannya (confession)
ketika ia melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum agama. Sesuai ketentuan
yang baku, orang yang berpuasa (wajib) diharamkan untuk melakukan persetubuhan
dengan istrinya di siang hari. Pelanggaran atas ketentuan hukum ini seorang
muslim diwajibkan untuk memerdekakan seorang budak mukmin, jika tidak sanggup
maka alternatifnya adalah puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak
sanggup juga, maka alternatif terakhir adalah memberi makan enampuluh fakir
miskin[14].
Dari ketiga alternatif hukuman yang diberikan Nabi, orang tersebut mengaku
tidak sanggup menjalaninya. Sebagai da'i yang mengerti betul situasi dan
kondisi mad'u yang dihadapinya, Nabi bahkan berinisiatif untuk memberikan
makanan kepadanya agar dapat dijadikan sebagai kaffarat. Namun demikian,
diakhir pengakuannya ia mengatakan bahwa diwilayah itu tidak ada orang yang
lebih fakir darinya. Maka keputusan yang diambil beliau adalah menyuruh orang
tersebut untuk mensedekahkan makanan pemberian beliau kepada keluarganya
sebagai kaffarat.
Dari sudut pandang dakwah,
keputusan yang diambil Nabi tersebut untuk memberi makan keluarga sebagai
kaffarat puasa sangat tepat dan dibenarkan. Tindakan beliau tersebut merupakan
perwujudan dari ajaran al Qur'an bahwa infaq (sedekah) itu yang pertama kali
adalah kepada orang tua (keluarga), jika
ada kelebihan maka untuk kerabat, jika ada kelebihan maka untuk yatim, miskin,
dan yang dalam perjalanan[15].
Keputusan tersebut juga selaras dengan pernyataan lain dalam hadits bahwa
sedekah (infak) yang paling baik adalah kelebihan dari kebutuhan pokok, dan
sedekah tersebut harus dimulai dari orang yang menjadi tanggungan (keluarga)[16].
Inilah contoh aplikasi dakwah dengan metode hikmah yang berarti dakwah dengan
ilmu, dan ilmu itu diperoleh jika da'i mengerti dan memahami situasi dan
kondisi mad'u.
2.Hadist/Sunnah Mengenai Fatwa Nabi Dalam Menjawab Pertanyaan Mad'u.
Teks Hadist:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ
أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Terjemah
Hadist :
Dari Abu
Hurairah RA., ia berkata Nabi pernah ditanya "…amal-amal apa yang lebih
utama?..." jawab Rasulullah "…Iman kepada Allah dan Rasulnya…".
Kemudian ditanya lagi, "…selanjutnya apa?..", jawab "…jihad di
jalan Allah…", dikatakan "..selanjutnya apa..?", jawab
"..haji mabrur…". HR. Bukhari.
Takhrij
Hadist :
Hadits
ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab haji bab kitab haji mabrur yang
disandarkan kepada Abu Hurairah dari Sa'id Ibn Musayyab dari Zuhri seperti
diceritakan oleh Ibrahim Ibn Sa'd kepada 'Abd al 'Aziz Ibn 'Abdullah[17].
Hadist ini juga ditemukan dalam Sahih Muslim dalam kitab iman bab penjelasan
keadaan iman kepada Allah dengan sanad seperti Bukhari hanya saja Ibn Musayyab
meriwayatkan melalui jalur lain yakni Ibn Shihab yang juga memperoleh riwayat
ini dari Ibn Sa'd seperti diberitakan oleh Muhammad Ibn Ja'far Ibn Ziyad dan
juga cerita dari Mansur Ibn Abi Mazahim[18].
Sedangkan dalam Sunan Tirmidzi, hadits dengan sedikit redaksi tambahan "ayu
al 'a'mâl khayr" juga didapat dari Abu Hurairah dengan jalur Abu
Salamah seperti diceritakan Muhammad Ibn 'Amr dari 'Abdah Ibn Sulaiman seperti
diceritakan oleh Abu Kuraib. Oleh al Tirmidzi hadits ini ditempatkan dalam bab
permasalahan mengenai amalan apa yang utama[19].
Penjelasan Hadits :
Hal terkait berikutnya dengan
dakwah hikmah adalah materi. Seperti dijelaskan Sayyid Qutb, salah satu
karakteristik dakwah hikmah adalah materinya harus pas dan cocok dengan
kebutuhan mad'u, tidak overload yang mengakibatkan mad'u merasa terbebani
sebelum sanggup melaksanakannya. Jika demikian, maka dakwah hikmah mengharuskan
adanya kesesuaian antara penyampaian materi dan kemampuan subyektif mad'u.
Penyampaian dakwah harus dalam batas yang dicounter oleh mad'u, baik
secara pemikiran (pemahaman), maupun pelaksanaannya. Statemen yang berbunyi
"…ajak bicara manusia sesuai dengan kadar akal mereka…"[20],
agaknya mengacu kepada penekanan materi dakwah hikmah. Maksud dari ungkapan
tersebut jika dikaitkan dengan dakwah berarti perintah untuk berdakwah dengan
memperhatikan kondisi subyektif mad'u. Artinya, materi dakwah harus dapat
dicerna akal (thinkable) dari segi kemampuan kognitif dan dapat dilaksanakan
(aplicable) dari segi kemampuan pisik.
Hadist di atas memuat dialog antara
Nabi sebagai da'i dan penanya sebagai mad'u yang meminta fatwa mengenai amalan
apa yang paling utama dalam Islam. Lebih lanjut menurut hadits tersebut jawaban
beliau adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mengikuti jihad dan
haji mabrur. Menarik dalam pembahasan ini, karena penelusuran terhadap
kitab-kitab hadits mu'tabarah ditemukan adanya hadits dengan redaksi pertanyaan
serupa kepada Nabi. Hadits riwayat Ibn Mas'ud misalnya, dengan pertanyaan yang
sama, ditemukan jawaban yang berbeda dari Rasulullah. Dalam hadits tersebut
disebutkan bahwa amalan yang utama adalah shalat pada waktunya, berbuat baik
kepada kedua orang tua, dan baru kemudian jihad di jalan Allah[21].
Sedangkan dalam Hadits Abu Daud dari 'Abdullah Ibn Hubsyi Rasulullah menjawab
pertanyaan tersebut dengan jawaban Thul al Qiyam (memperpanjang raka'at
dalam shalat)[22].
Pakar Hadits Ibn Rajab menambahkan
satu riwayat bahwa amal yang paling utama adalah zikrullah. Ulama ini kemudian
mencoba untuk menjelaskan tentang keragaman jawaban Rasul dalam menjawab satu
pertanyaan yang sama tersebut, katanya masalah inilah yang membuat kesulitan
pemahaman orang banyak[23].
Selanjutnya Ibn Rajab mencoba menjelaskan pandangan-pandangan disekitar maslah
ini. Pandangan pertama mengatakan bahwa amalan yang paling utama yang dimaksud
di sini adalah sebagian dari amalan terutama yang begitu banyak, bukan
semata-mata amalan utama itu sendirian[24].
Pandangan kedua mengatakan bahwa Rasulullah menjawab pertanyaan berdasarkan
pertimbangan subyektif mad'u. Maksudnya jawaban-jawaban Rasulullah di sini
merupakan amalan yang paling utama baginya secara khusus yang belum tentu
menjadi amalan utama bagi lainnya[25].
Baik pandangan tentang sebagian
dari amalan utama atau amalan paling utama secara khusus, keduanya berangkat
dari perbedaan mad'u sehingga mengharuskan pula perbedaan materi yang harus
disampaikan kepada mereka. Walaupun materi yang disampaikan berbeda, - lanjut
Ibn Rajab- bukan berarti penyampaian dakwah beliau tidak konsisten dan
bertentangan satu dan lainnya[26].
Iman, shalat dan haji, kata Ibn Rajab, merupakan bangunan Islam yang lima (mabânî
al khams) yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dengan
demikian, jawaban Nabi tentang amalan yang paling sempurna dengan Iman, atau
shalat atau haji pada hakekatnya adalah sama. Karena setiap penyebutan satu
kategori adalah simbol yang mewakili penyebutan kategori lainnya (mabâni al
khams bi jumlatiha).[27]
Ulama ini kemudian mengutip hadits nabi berikut "empat hal yang tiga di
antaranya tidak diterima kecuali dengan melengkapi keseluruhannya, yaitu
shalat, puasa, zakat dan haji" HR Ahmad[28].
Ibn Rajab juga mengutip riwayat dari Huzaifah Ibn Yaman, bahwa jihad seperti
juga amar ma'ruf nahi munkar merupakan bagian Islam (sahm min sihâm al islâm)
yang bersama-sama dengan mabâni' al khams membentuk pilar-pilar penegak
Islam. Oleh karenanya, dalam al Qur'an Allah senantiasa menyertakan antara
keimanan dengan jihad. Misalnya dalam firman Allah QS al Hujarat/49: 15 yang
terjemahannya demikian " sesungguhnya orang mukmin yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan Harta dan jiwanya…"
atau dalam firman Allah QS al Shaf/61: 11 yang terjemahannya demikian "
engkau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan harta dan jiwa kalian…".
Dengan hubungan seperti ini, maka dapat dipahami jawaban Nabi tentang jihad
sebagai amalan yang paling utama setelah keimanan.
Adapun jawaban Nabi tentang
perbuatan baik terhadap kedua orang tua sebagai amalan yang paling utama,
karena perbuatan tersebut termasuk kedalam keutamaan hak hamba (huqûq al
'ibâd). Sementara mabâni' al khams seperti yang dijelaskan di atas
merupakan hak Allah (huqûq Allah 'azza wa jalla). Di sisi lain ada
keterikatan kuat antara hak Allah dan hak hamba yang tidak mungkin sempurna
satu tanpa lainnya. Artinya, penunaian hak Allah semata tanpa disertai oleh
penunaian hak hamba tidak akan menjadi amalan yang paling sempurna. Itulah
sebabnya dalam hadits Ibn Mas'ud, penyebutan berbuat baik kepada orang tua
sebagai hak hamba dijelaskan setelah penyebutan shalat yang merupakan hak Allah[29].
Keterkaitan materi tersebut adalah
hal yang mesti dipahami dan dijadikan pertimbangan oleh da'i ketika dihadapkan
oleh pertanyaan mad'unya. Jika dakwah hikmah mengharuskan kecocokkan antara
materi dakwah dan kebutuhan mad'u, maka sepatutnya jawaban yang diberikan
adalah juga yang sesuai dengan kondisi subyektif mad'u. Atas dasar logika ini,
maka dapat dipahami pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan jawaban Nabi atas
pertanyaan mad'unya merupakan jawaban khusus dengan mempertimbangkan
subyektifitas sipenanya. Kekhususan jawaban itu, kata Ibn Rajab, terlihat
ketika dihadapkan kepada Ibn Mas'ud yang secara subyektif masih memiliki Ibu
dan telah lama masuk Islam[30].
Berbeda dengan Abu Hurairah, walaupun ia masih memiliki orang tua, namun baru
belakangan masuk Islam sehingga masih perlu untuk dimotivasi akan arti Iman dan
jihad[31].
Demikian itu salah satu contoh lain dari aplikasi dakwah hikmah seperti yang
diajarkan rasul kepada juru dakwah.
2. Hadits/Sunnah
Tentang Tahapan Dalam Menyampaikan Dakwah.
Teks Hadist:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ يَحْيَى
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيْفِيٍّ عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ إِنَّكَ
سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا
لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ
فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ
اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ
عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
Terjemah
hadist:
Rasulullah
berkata kepada Mu'az Ibn Jabal ketika mengutusnya ke Negeri Yaman "…hai
Mu'az, sesungguhnya engkau akan bertemu dengan sekelompok Ahl Kitab. Ketika
nanti engkau telah bertemu mereka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad Utusan Allah. Jika mereka menerimanya, maka
beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari
semalam. Jika mereka menerimanya, beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan zakat
yang dikolektif dari orang kaya mereka dan didistribusikan kepada orang-orang
miskin mereka. Jika mereka menerima itu, maka hati-hatilah engkau dengan harta
mereka yang dimuliakan, dan takutlah engkau akan do'a yang teraniaya. Karena
hal tersebut tidak terhalang dari Allah.
Takhrij
Hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
jalur Ibn 'Abbas seperti diceritakannya kepada majikannya, Abu Ma'bad. Orang
yang terakhir disebut ini kemudian menceritakannya kepada 'Abdullah Ibn Shayfi
yang diteruskannya kepada Isma'il Ibn Umayyah seperti diceritakannya kepada
Fadl Ibn 'Ala seperti diceritakan oleh Abdullah Ibn Abi Aswad. Bukhari mencatat
hadits ini dalam kitabnya pada empat bab, pertama, dimulikannya harta
milik manusia[32], kedua,
diambilnya sadaqah dari orang kaya[33],
ketiga, pengutusan Abu Musa dan Mu'az ke Yaman[34]
dan keempat, perihal dakwah Nabi SAW[35].
kesemua ini diriwayatkan oleh jalur yang sama seperti dijelaskan di atas.
Muslim dalam kitab Sahih nya juga meriwayatkan
hadits serupa dengan jalur sanad yang sama dengan Bukhari, hanya saja ia
menerima hadits dari Abu Bakar Ibn Abi Syaybah sehingga redaksinya juga sedikit
berbeda. Dalam Sahih Muslim, hadits yang tercatat redaksinya "fa
a'limhum" sebagai ganti "fa akhbirhum" dalam hadits
Bukhari[36].
Hadits seperti diriwayatkan Muslim juga diriwayatkan oleh al Tirmidzi dengan
redaksi yang sama persis yang diterimanya dari Muhammad Ibn Abdullah Ibn al
Mubarak[37].
Penjelasan
Hadits :
Aspek ketiga yang disorot dalam dakwah hikmah
menurut teori Sayyid Qutb adalah aspek penyampaian dakwah (tablîgh).
Menurut Qutb, dakwah hikmah itu harus disampaikan dengan cara yang bijak dan
tidak menggebu-gebu sehingga melampaui batas kearifan. Adapun yang dimaksud
dengan penyampaian dakwah yang menggebu-gebu di sini adalah kehendak da'i yang
terlamapu ideal sehingga tidak memperhatikan adanya faktor tahapan (tadarruj)
dalam berdakwah. Islam sebagai tema yang dijadikan perhatian dalam dakwah,
memiliki stratafikasi ajaran, dimulai dari yang esensial, kemudian dilanjutkan
dengan ajaran penopang hingga yang bersifat ajaran-ajaran yang bersifat
parsial. Semua itu disampaikan kepada mad'u dengan proses yang bertahap (tadarruj
fi al da'wah) sesuai dengan prioritas dalam stratafikasi ajaran[38].
Menurut Ibrahim al Muthlaq, yang dinamakan
dengan taddaruj dakwah adalah menyajikan dakwah (al taqaddum) kepada
mad'u dengan cara bertahap agar dapat sampai kepada tujuan dakwah sesuai dengan
metode khusus yang disyari'atkan[39].
Melalui metode tadarruj ini, menurut al Muthlaq, maka dakwah kepada muslimin
berbeda dengan dakwah kepada non muslim. Dakwah kepada muslimin dilakukan
dengan memperhitungkan kondisi mad'u dengan berorientasi agar berpegang teguh
kepada ketaatan Allah dan Rasul-Nya serta mengamalkan ajaran al Qur'an dan Sunnah[40].
Sedangkan dakwah kepada non muslim dilakukan dengan mensosialisasikan akidah
tauhid dan syari'at Islam[41].
Tauhid kata al Muthlaq, merupakan dasar di mana
Islam didirikan, itulah sebabnya ia disebut agama tauhid. Esensi dari tauhid
pada hakekatnya adalah menyendirikan Allah dalam hal peribadatan, itulah inti
ajaran para rasul seperti diturunkan Allah melalui kitab-kitab-Nya[42].
Inilah hal pertama yang diperintahkan Rasul kepada Mu'adz ketika beliau
mengutusnya untuk berdakwah di hadapan Ahl al Kitab Yaman. Ahlu Kitab sebagai
senior dalam penerimaan risalah Allah, adalah kaum yang pernah mengenal ajaran
tentang keesaan Allah. Namun demikian konsep ketauhidan dalam keyakinan Ahlu
Kitab telah terkontaminasi oleh pandangan-pandangan yang keliru. Konsep tauhid
yang benar, kata al Muthlaq, terdiri dari dua hal. Pertama, tauhid dalam
hal pengetahuan (al ma'rifah) dan penetapan ketuhanan (al itsbat).
Kedua, tauhid ketuhanan (uluhiyyah), yakni memurnikan peribadatan
kepada Allah dari penyembahan mahluk, baik penyembahan malaikat, para nabi
maupun yang lainnya[43].
Kata al Muthlaq, orang non muslim meyakini yang pertama, tapi tidak demikian
dengan yang kedua[44].
Itulah sebabnya dalam riwayat lain hadits ini redaksinya berbunyi "maka
hal pertama yang harus kau dakwahkan adalah ibadah kepada Allah".
Perintah Nabi kepada Mu'adz dapat dipahami sebagai intruksi agar pertama yang
mesti didakwahkan da'i kepada nonmuslim adalah ajakan untuk memurnikan tauhid
dengan meninggalkan pengkultusan kepada Nabi atau mahluk lain setara dengan
Tuhan. Kemurinan beribadah kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan
ketaatan kepada apa yang disampaikan oleh utusan Allah. Itulah sebabnya dalam
hadits ini, disetarakan antara ajakan untuk mendeklrasikan tauhid, dengan
dakwah untuk pengakuan kerasulan Muhammad.
Tauhid kata al Muthlaq memiliki kaitan erat
dengan syari'at. Jika tauhid mewajibkan eksistensi syari'at, maka syari'at
merupakan wadah aktual bagi tauhid. Dengan pernyataan ini, maka dapat dipahami
penafsiran Rasulullah dalam Sunahnya akan arti iman dengan "tauhid plus
syari'at" seperti terbaca dalam potongan hadits Rasulullah berikut.
آمركم بالإيمان بالله وحده ، قال
: " أتدرون ما الإيمان بالله وحده " ؟ قالوا : الله ورسوله أعلم ، قال :
شهادة أن لا إله إلا الله ، وأن محمدًا رسول الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ،
وصوم رمضان ، وأن تعطوا من المغنم الخمس
"
….aku menyuruh kamu dengan iman kepada Allah semata. Apakah kamu mengerti apa
itu iman kepada Allah semata. Dijawab " Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu" kata Rasul " (iman) yaitu bersaksi tiada tuhan selain Allah,
Mengakui muhammad sebagai Rasul-Nya, mendirikan shlat, menunikan zakat, puasa
ramadhan dan memberi seperlima dari hasil ternak…" HR Bukhari[45].
Atas dasar logika demikian, maka langkah
berikutnya setelah mengakui tauhid dan kerasulan muhammad dalam tadarruj
da'wah adalah mensosialisasikan syari'at. Demikian, karena syari'at
merupakan buah yang harus muncul dari pengakuan terhadap tauhid[46].
Inilah wasiat berikutnya seperti disampaikan Rasulullah kepada Mu'adz sebagai
da'i - agar menyampaikan syari'at Islam jikalau orang non muslim Yaman beriman -
yang dalam hadits ini disimbolkan dengan berita untuk melakukan shalat sebagai
syari'at yang berkaitan dengan Tuhan, dan shadaqah (zakat) sebagai syari'at
yang mewakili hak manusia. Di akhir wasiat tersebut, Rasulullah berpesan kepada
Mu'adz agar menjaga hak-hak kepemilikan yang telah ditunaikan kewajibannya.
Dalam hal ini memang pengutusan Mu'adz ke Yaman dalam rangka dua hal. Pertama,
menyiarkan Islam dan kedua, menegakkan politik di negeri tersebut. Wasiat Rasul
untuk memberitakan tauhid dan syari'at adalah tugas beliau sebagai da'i.
sedangkan wasiat Rasul untuk menjaga hak kepemilikan adalah dalam rangka tugas
beliau sebagai politisi.
Inilah contoh dakwah hikmah seperti diwasiatkan
Rasul kepada Mu'adz dan juga kepada para da'i. Dalam dakwah hikmah, dilarang
keras untuk menyampaikan ajaran-ajaran parsial sebelum yang esensial, baik
dengan maksud religiusitas (karena keinginan akan hidayah mad'u yang terlalu
menggebu), apalagi untuk tujuan politik yang kotor. Karena hal demikian tidak
akan menyampaikan maksud dari tujuan dakwah yang sebenarnya serta kehilangan
nilai kearifannya, malahan menjadikan dakwah menjadi bahan lelucon yang murah.
C.
Hadits/Sunnah Nabi Tentang Metode Dakwah
Mau'izah Hasanah.
Teks
Hadits:
إِنَّ فَتًى شَابًّا أَتَى النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي بِالزِّنَا
فَأَقْبَلَ الْقَوْمُ عَلَيْهِ فَزَجَرُوهُ قَالُوا مَهْ مَهْ فَقَالَ ادْنُهْ فَدَنَا
مِنْهُ قَرِيبًا قَالَ فَجَلَسَ قَالَ أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي
اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأُمَّهَاتِهِمْ قَالَ أَفَتُحِبُّهُ
لِابْنَتِكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ
قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِبَنَاتِهِمْ قَالَ أَفَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ قَالَ
لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأَخَوَاتِهِمْ
قَالَ أَفَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ قَالَ لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ
قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِعَمَّاتِهِمْ قَالَ أَفَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ
قَالَ لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ
لِخَالَاتِهِمْ قَالَ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ وَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ
وَطَهِّرْ قَلْبَهُ وَحَصِّنْ فَرْجَهُ فَلَمْ يَكُنْ بَعْدُ ذَلِكَ الْفَتَى يَلْتَفِتُ
إِلَى شَيْءٍ
Terjemah
Hadits:
"…sesungguhnya
seorang perjaka belia pernah mendatangi Rasulullah SAW kemudian ia berkata " wahai Rasulullah
izinkan aku untuk melakukan zina ". kemudian para sahabat berdiri hendak
memberi pelajaran seraya berkata "…enyah engkau..!!!". Rasulullah
menyuruh para sahabat untuk membiarkannya dan mendekatkan duduk di sampingnya.
Kemudian Rasulullah berkata "..apakah engkau rela jika ibumu
berzina?", dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul "
begitupun orang tidak rela jika ibunya berzina. Bagaimana jika anakmu yang
berzina?" dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul "
begitupun orang tidak rela jika anaknya yang berzina. Bagaimana jika pelakunya
saudara perempuanmu?", dijawab " demi Allah, tidak". Kata Rasul
" begitupun orang tidak akan rela jika saudara perempuan mereka berzina.
Bagaimana jika pelakunya bibimu?" dijawab " demi Allah, tidak".
Kata Rasul " begitupun orang tidak akan rela jika bibinya berzina".
Kemudian Rasulullah meletakan tangannya di bahunya seraya berdoa " ya
Allah ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya. Setelah
kejadian itu pemuda tersebut tidak lagi melakukan zina." HR. Ahmad.
Takhrij
Hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad Ibn
Hanbal melalui jalur Abu umamah yang meneruskannya kepada Sulaim Ibn 'Amr.
Orang yang disebut terakhir ini kemudian menceritakan riwayat ini kepada Hariz
Ibn 'Utsman, kemudian diceritakan lagi kepada Yazid Ibn Harun hingga sampai
kepada perawi (Ahmad Ibn Hanbal). Dalam Musnadnya, Ibn Hanbal meletakan hadits ini pada bagian hadits-hadits Abu
Umamah[47].
Hadits ini juga ditemukan dalam kitab Mu'jam Kabir karya monumental al Thabrany
dengan sedikit perbedaan redaksi. Pada riwayat ini, kata bi al zina diganti
dengan fi al zina, kemudian kata faaqbala al qoum diganti dengan fashaa
ha al nas. Dalam riwayat ini juga ditambahkan kata aqirruhu idna
sebagai ganti kata fadana minhu qariban. Jalur yang digunakan al
Thabrany dalam meriwayatkan hadits ini sama dengan Ahmad, hanya saja setelah Harits Ibn 'Utsman, jalur periwayatan
berbelok kepada Abu al Yaman Hakam Ibn Nafi' dan Abu Yazid al Huty. Kedua orang
tersebut kemudian meneruskan hadits ke Abu al Mughirah yang kemudian
menceritakannya kepada Ahmad Ibn 'Abdul Wahhab al Huthy[48].
Seperti al Thabrani, al Bayhaqy juga
meriwayatkan hadits serupa dengan redaksi berbeda. Dalam riwayat bayhaqy ini,
kata i'zan li (izinkanlah aku) diganti dengan kata hal tuazzinu li
(apakah engkau mengizinkan aku), sedangkan redaksi lainnya kelihatan mirip
dengan periwayatan al Thabrany[49].
Dari segi jalurnya, hadits riwayat al Bayhaqy juga bersumber dari Abu Umamah
dengan sanad persis seperti hadits imam Ahmad, namun sanad yang terdapat dalam
al Bayhaqy kelihatannya lebih panjang karena setelah nama Yazid Ibn Harun masih
ada beberapa nama-nama yang disebut sebagai sanadnya seperti Muhammad Ibn 'Abd
al Malik al Daqiqy, Muhammad Ibn Muhammad al Ats'ats, Abu Ahmad Ibn al 'Ady al
Hafidz serta Abu Sa'id al Maliny.
Penjelasan
Hadits :
Selain dakwah hikmah, dalam penjelasan QS al
Nahl juga disebut dakwah dengan metode mau'izah hasanah. Jika mengikuti teori
Sayyid Qutb di awal pembahasan ini, maka unsur yang harus dipenuhi dalam metode
ini ada tiga. Pertama, dakwah mau'izah hasanah harus mengandung unsur
nasihat. Kedua, nasehat tersebut dapat menyejukan hati. Ketiga,
nasehat tersebut tidak mengandung unsur kecaman dan makian yang membuat orang
jera mendengarnya. Menurut pakar dakwah Shalih al Humaid, nasihat yang
menyejukkan hati dan tanpa kecaman tersebut ditujukan untuk melembutkan hati
lawan bicara (baca: mad'u) agar menjadi mudah untuk melakukan pelbagai
kebajikan dan terurungkan dari melakukan maksiat[50].
Dalam buku Dakwah Fi al Islam, Sayyid Rizq al
Thawil merangkum beberapa karakteristik dalam dakwah mau'izah hasanah. Pertama,
dakwah mau'izah hasanah adalah dakwah dengan ucapan yang lembut yang bernuansa
pertemanan (al rifq). Dengan demikian, menurut al Thawil mau'izah
hasanah sebisa mungkin menghindari sikap kasar, garang serta ungkapan yang
menyakitkan (qaswat al 'ibarat). Dakwah mau'izah hasanah tidak boleh
mengandung unsur penghinaan atau membodohi orang, sebaliknya harus menguasai
hati mad'u dengan cara menjauhi segala anggapan dan pikiran buruk tentang mad'u[51].
Kedua, dakwah mau'izah hasanah adalah dakwah dengan mengemukakan analogi
yang fasih (fasahat al 'ibarat) dan menjauhkan dari istilah-istilah yang
kurang pantas baik dari segi ucapan maupun artinya[52].
Ketiga, dakwah mau'izah hasanah menghendaki adanya efesiensi dalam
ucapan dan menghindari sebisa mungkin perkataan yang tidak perlu untuk
diungkapkan. Mau'izah hasanah juga harus bisa mengcounter sikap jahat
yang kelewat batas dengan cara mengimbanginya dengan ucapan yang baik (idfa'
bi allatî hiya ahsan). Keempat, mau'izah hasanah bukanlah dakwah dengan
cara memutarbalikkan ucapan, sebaliknya dakwah harus mengganti semua cacian dan
persangkaan buruk dengan ajakan untuk merenung dan berpikir tentang kebenaran[53].
Kelima, mau'izah hasanah adalah dakwah yang bisa memberi efek perubahan
sikap yang lebih baik (al ta'tsir al 'athifi) melalui penjelasan yang
memuaskan mad'u[54].
Hadits di atas menggambarkan bagaimana sikap
yang seharusnya dilakukan seorang da'i ketika menyampaikan nasehat Islam kepada
mad'unya. Pertanyaan pemuda kepada Nabi yang meminta izin untuk berzina, adalah
ungkapan seorang yang patuh terhadap agama namun tidak memahami esensi dari
ajaran agama. Sikap keberagamaan seperti demikian ini kerap dijumpai pada
kebanyakan orang pada umumnya (golongan awam). Kepatuhan terhadap agama yang
dimaksud adalah kesadaran seorang muslim untuk menjadikan perintah Allah dan
Rasul-Nya sebagai basic dalam menentukan sikap hidup dan perilaku.
Kejujuran si pemuda untuk meminta izin kepada
Nabi untuk melakukan hal yang dikiranya lumrah, sebetulnya didasari oleh sikap
kesadaran yang tinggi akan kepatuhan terhadap agama yang diyakininya. Namun ia
tidak memahami esensi dan tujuan dari keyakinannya tersebut. Kepatuhan terhadap
agama akan sempurna jika dilengkapi oleh pemahaman tentang esensi dan tujuan
dari ajaran agama yang diyakini. Sebaliknya, kepatuhan semata tanpa pemahaman
agama akan melahirkan formalisasi dalam beragama. Formalisasi dalam beragama
biasanya ditampakkan dalam bentuk keinginan untuk melegitimasi kehendak pribadi
(nafsu) melalui konfirmasi agama. Sikap demikian inilah yang tunjukkan sipemuda
ketika ia hendak melegitimasi nafsu pribadinya untuk berzina dengan meminta
perizinan nabi. Sikap naif dalam beragama seperti ini sebetulnya lahir dari innocent
unknowledge (keluguan karena tidak memiliki pengetahuan) yang biasanya ditemukan
pada orang awam.
Dalam dakwah, metode yang tepat untuk golongan
orang yang memiliki sikap keberagamaan seperti tersebut adalah mau'izah
hasanah. Dengan metode ini, hal berharga yang hendak diajarkan Rasulullah
kepada da'i ketika menghalangi sahabat yang hendak ingin memberi pelajaran
kepada pemuda – karena dikira melecehkan agama - adalah keharusan untuk menghargai keimanan
dengan menunjukkan sikap kelembutan dan kasih sayang dan membuang segala
prasangka buruk terhadap mad'u. Inilah sikap yang dicontohkan oleh Rasul
seperti tersebut dalam al Qur'an "…kasih sayang terhadap orang mukmin dan
keras terhadap orang kafir…" (QS al Fath/48: 29), bukannya cacian dan
makian.
Mau'izah hasanah juga mengharuskan adanya
ajakan untuk berpikir tentang kebenaran melalui alur logika tamtsil
(perumpamaan) yang efesien. Perhatikan bagaimana Rasul menanggapi pertanyaan
pemuda dengan logika tamtsil tanpa memberi jawaban baik positif maupun negatif.
Jika ditelaah lebih jauh, ditemukan dua tujuan pokok dari sikap demikian ini. Pertama,
memahamkan mad'u akan tujuan dan esensi ajaran agama. Kedua,
menghidupkan potensi (baca: naluri) kebaikan yang sebetulnya telah tertanam
dalam jiwa manusia. Mengenai yang pertama, Rasulullah ingin menunjukkan kepada
sipemuda bahwa ada alasan rasional dibalik perintah dan larangan agama terhadap
suatu hal. Ajaran Islam tidak didasarkan atas dogma yang buntu, lebih dari itu
ia didasarkan pada reason yang berorientasi pada kemaslahatan. Artinya
Islam tidak hanya menyuruh atau melarang, tapi ada tujuan-tujuan mulia dibalik
semua perintah dan larangan tersebut. Sedangkan mengeni potensi kebaikan,
sebetulnya pada diri manusia telah tertanam naluri kebaikan sejak awal
penciptaannya (fitrah). Dengan naluri itu, pada kondisi normal pada hakekatnya
mudah bagi manusia untuk melakukan kebajikan dan berat hati manusia untuk
melakukan kejahatan. Fitrah kebaikan itulah yang ingin dihidupkan Rasul melalui
nasehat beliau kepada si pemuda, sehingga dengan sendirinya telah terjawab
pertanyaan tanpa perlu lagi mengatakan "ya" atau "tidak".
Dengan penjelasan yang memuaskan tersebut, maka dakwah mau'izah hasanah
berhasil memberikan efek positif terhadap sikap mad'u seperti diceritakan di
akhir hadits.
D.
Hadits/Sunnah Tentang Metode Dakwah Mujadalah
Hasanah.
Teks
Hadits :
أَنّ عُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ ، وَكَانَ
سَيّدًا ، قَالَ يَوْمًا وَهُوَ جَالِسٌ فِي نَادِي قُرَيْشٍ ، وَرَسُولُ اللّهِ صَلّى
اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ وَحْدَهُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ ،
أَلَا أَقُومُ إلَى مُحَمّدٍ فَأُكَلّمَهُ وَأَعْرِضَ عَلَيْهِ أُمُورًا لَعَلّهُ يَقْبَلُ
بَعْضَهَا فَنُعْطِيهِ أَيّهَا شَاءَ وَيَكُفّ عَنّا ؟ وَذَلِكَ حِينَ أَسْلَمَ حَمْزَةُ
وَرَأَوْا أَصْحَابَ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَزِيدُونَ وَيَكْثُرُونَ
فَقَالُوا : بَلَى يَا أَبَا الْوَلِيدِ قُمْ إلَيْهِ فَكَلّمْهُ فَقَامَ إلَيْهِ عُتْبَةُ
حَتّى جَلَسَ إلَى رَسُولِ اللّه صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ يَا ابْنَ
أَخِي ، إنّك مِنّا حَيْثُ قَدْ عَلِمْتَ مِنْ السّطَةِ فِي الْعَشِيرَةِ وَالْمَكَانِ
فِي النّسَبِ وَإِنّك قَدْ أَتَيْت قَوْمَك بِأَمْرِ عَظِيمٍ فَرّقْت بِهِ جَمَاعَتَهُمْ
وَسَفّهْت بِهِ أَحْلَامَهُمْ وَعِبْت بِهِ آلِهَتَهُمْ وَدِينَهُمْ وَكَفّرْت بِهِ
مَنْ مَضَى مِنْ آبَائِهِمْ فَاسْمَعْ مِنّي أَعْرِضْ عَلَيْك أُمُورًا تَنْظُرُ فِيهَا
لَعَلّك تَقْبَلُ مِنْهَا بَعْضَهَا . قَالَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّه
عَلَيْهِ وَسَلّمَ قُلْ يَا أَبَا الْوَلِيدِ أَسْمَعْ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي ، إنْ
كُنْت إنّمَا تُرِيدُ بِمَا جِئْتَ بِهِ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ مَالًا جَمَعْنَا لَك
مِنْ أَمْوَالِنَا حَتّى تَكُونَ أَكْثَرَنَا مَالًا ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ بِهِ
شَرَفًا سَوّدْنَاك عَلَيْنَا ، حَتّى لَا نَقْطَعَ أَمْرًا دُونَك ، وَإِنْ كُنْت
تُرِيدُ بِهِ مُلْكًا مَلّكْنَاك عَلَيْنَا ؛ وَإِنْ كَانَ هَذَا الّذِي يَأْتِيك رِئْيًا
تَرَاهُ لَا تَسْتَطِيعُ رَدّهُ عَنْ نَفْسِك ، طَلَبْنَا لَك الطّبّ ، وَبَذَلْنَا
فِيهِ [ ص 294 ] غَلَبَ التّابِعُ عَلَى الرّجُلِ حَتّى يُدَاوَى مِنْهُ أَوْ كَمَا
قَالَ لَهُ . حَتّى إذَا فَرَغَ عُتْبَةُ وَرَسُولُ اللّه صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ
يَسْتَمِعُ مِنْهُ قَالَ أَقَدْ فَرَغْتَ يَا أَبَا الْوَلِيدِ ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ
فَاسْمَعْ مِنّي ؛ قَالَ أَفْعَلُ فَقَالَ بِسْمِ اللّهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ { حم
تَنْزِيلٌ مِنَ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ كِتَابٌ فُصّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيّا
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ
وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنّةٍ مِمّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ } ثُمّ مَضَى رَسُولُ
اللّه صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِيهَا يَقْرَؤُهَا عَلَيْهِ . فَلَمّا سَمِعَهَا
مِنْهُ عُتْبَةُ أَنْصَتَ لَهَا ، وَأَلْقَى يَدَيْهِ خَلْفَ ظَهْرِهِ مُعْتَمِدًا
عَلَيْهِمَا يَسْمَعُ مِنْهُ ثُمّ انْتَهَى رَسُولُ اللّه صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ
إلَى السّجْدَةِ مِنْهَا ، فَسَجَدَ ثُمّ قَالَ قَدْ سَمِعْتَ يَا أَبَا الْوَلِيدِ
مَا سَمِعْتَ فَأَنْت وَذَاكَ [ مَا أَشَارَ بِهِ عُتْبَةُ عَلَى أَصْحَابِهِ ]
فَقَامَ عُتْبَةُ إلَى أَصْحَابِهِ
فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضِ نَحْلِفُ بِاَللّهِ لَقَدْ جَاءَكُمْ أَبُو الْوَلِيدِ
بِغَيْرِ الْوَجْهِ الّذِي ذَهَبَ بِهِ . فَلَمّا جَلَسَ إلَيْهِمْ قَالُوا : مَا وَرَاءَك
يَا أَبَا الْوَلِيدِ ؟ قَالَ وَرَائِي أَنّي قَدْ سَمِعْتُ قَوْلًا وَاَللّهِ مَا
سَمِعْت مِثْلَهُ قَطّ ، وَاَللّهِ مَا هُوَ بِالشّعْرِ وَلَا بِالسّحْرِ وَلَا بِالْكِهَانَةِ
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ ، أَطِيعُونِي وَاجْعَلُوهَا بِي ، وَخَلّوا بَيْنَ هَذَا الرّجُلِ
وَبَيْنَ مَا هُوَ فِيهِ فَاعْتَزِلُوهُ فَوَاَللّهِ لَيَكُونَنّ لِقَوْلِهِ الّذِي
سَمِعْتُ مِنْهُ نَبَأٌ عَظِيمٌ فَإِنْ تُصِبْهُ الْعَرَبُ فَقَدْ كُفِيتُمُوهُ بِغَيْرِكُمْ
وَإِنْ يَظْهَرْ عَلَى الْعَرَبِ فَمُلْكُهُ مُلْكُكُمْ وَعِزّهُ عِزّكُمْ وَكُنْتُمْ
أَسْعَدَ النّاسِ بِهِ قَالُوا : سَحَرَك وَاَللّهِ يَا أَبَا الْوَلِيدِ بِلِسَانِهِ
قَالَ هَذَا رَأْيِي فِيهِ فَاصْنَعُوا مَا بَدَا لَكُمْ .
Terjemah
Hadits :
'Utbah
Ibn Rabi'ah adalah seorang bangsawan terkemuka, ketika dalam suatu pertemuan ia
mencoba membujuk Quraish dengan mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan
Muhammad dan akan menawarkan kepadanya hal-hal yang barangkali mau menerimanya.
Mereka mau memberikan apa saja yang dikehendakinya asal ia dapat dibungkam. Hal
demikian itu terjadi ketika Hamzah masuk Islam dan pengikut Muhammad makin
banyak. Quraish berkata " hai Abu Walid, pergilah dan bicaralah dengannya.
Kemudian 'Utbah mendatangi Rasullah dan berkata kepadanya "…wahai
keponakanku, seperti anda ketahui, dari segi keturunan anda mempunyai tempat di
kalangan kami. Anda sekarang telah membawa soal besar ketengah-tengah masyarakat
hingga tercerai berai. Sekarang dengarkanlah, kami akan menawarkan beberapa
masalah, mungkin sebagiannya berkenan kau terima". Rasulullah menjawab
" hai Abu Walid, aku siap mendengarkan". Utbah melanjutkan "
kalau dalam hal ini kau menginginkan harta, kami siap mengumpulkan harta kami
sehingga hartamu kan menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau
menghendaki pangkat, kami angkat engkau di atas kami semua dan kami tidak akan
memutuskan perkara tanpa persetujuanmu. Jika engkau menginginkan menjadi raja,
kami nobatkan kau sebagai raja kami. Jika engkau dihinggapi penyakit saraf yang
tak dapat kau tolak sendiri, akan kami usahakan pengobatannya sampai sembuh dan
kami yang akan menanggung biayanya". Setelah 'Utbah selesai dari bicaranya,
Rasulullah berkata " apakah engkau sudah menyelesaikan ucapanmu?"
dijawab " ya, sudah" kata Rasul " dengarkan sekarang aku mau
bicara" kemudian Rasulullah membaca surah al Sajadah. Seusai dialog itu
'Utbah keluar dengan air muka yang berbeda ketika ia masuk ke tempat
Rasulullah. Ia berkata kepada kaumnya " wahai Quraish aku mendengar suatu
ucapan yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Itu bukan sihir dan mantra.
Saranku biarkanlah lelaki itu dengan urusannya sendiri".
Takhrij
Hadits :
Hadits
ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits mu'tabarah (Bukhari, Muslim, Sunan
al Arba'ah, dan Musnad Ahmad). Ibn Hisyam dalam sirahnya meriwayatkan hadits
ini dari jalur Ibn Ishaq yang mendengarnya dari Yazid Ibn Ziyad dari Muhammad
Ibn Ka'b al Qurazhy. Dalam jalur riwayat ini, orang yang tersebut terakhir
tidak menyebutkan dari siapa ia mendengar riwayat ini. Orang tersebut merupakan
orang dari golongan tabi'in dan oleh karena itu menurut ketentuan 'ulum al
hadits, derajatnya adalah hadits maqtu'[55].
Ibn Katsir dalam Sirah Nabawiyahnya juga mengutip hadits tersebut, katanya
hadits tersebut diriwayatkan oleh 'Abd Ibn Humaid dalam Mushafnya. Mengenai
jalur periwayatnnya, Ibn Humaid mendapatkan hadits tersebut dari Abu Bakar Ibn
Abi Syaybah seperti diceritakan oleh 'Ali Ibn Mashur dari 'Abdullah al Kindi
dari Ziyal Ibn Harmilah al Asdy dari Jabir Ibn 'Abdillah. Orang yang tersebut
terakhir ini adalah golongan sahabat, oleh karena itu haditsnya adalah mauquf[56].
Penjelasan
Hadits :
Metode dakwah ketiga seperti tersebut dalam QS
al Nahl adalah mujadalah hasanah. Seperti telah dijelaskan di muka, metode
dakwah ini menurut Qutb adalah dakwah yang dilakukan dengan dialog yang
demokratis, maksudnya dialog yang tidak mengandung unsur penganiayaan dengan
pemaksaan pendapat atau melecehkan dan merendahkan argumen lawan bicara. Menurut
'Abdul Hamid Ibn Badis, jidal (debat) tidak identik dengan dakwah. Dakwah
adalah satu hal, sedangkan debat adalah hal yang lain[57].
Namun demikian memang diakui, kata Ibn Badis, penggunaan debat untuk tujuan
dakwah. Walaupun begitu, kedudukan debat dalam hal ini hanyalah berkedudukan
sebagai cara yang diperbolehkan hanya dalam satu keadaan saja, yakni ketika
dakwah dipertentangkan dengan argumen syubhat dan menyimpangkan dari jalan
Allah[58].
Atas dasar pendapat ini, berarti jidal bisa menjadi terpuji atau tercela
tergantung dari konteks di mana ia dipergunakan. Mujadalah hasanah, berarti
debat yang hanya dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dakwah untuk menolak
keraguan dan penentangan yang menyimpangkan kebenaran, lain tidak[59].
Merujuk pada hadits di atas, kasus yang
dihadapi rasul adalah segolongan orang yang ragu akan kebenaran Islam.
Dilatarbelakangi oleh keraguan tersebut, maka lahir argumen-argumen syubhat
yang berasal dari subyektifitas lawan bicara. Subyektifitas yang dimaksud
adalah sikap memandang lawan bicara hanya sebagai personal terlepas dari
nilai-nilai yang disampaikan. Jika merujuk pada teori Ibn Badhis, dalam keadaan
seperti inilah debat diperbolehkan sebagai jalan untuk menunjukkan kebenaran Allah.
Sebagai
da'i yang berpedoman pada prinsip mujadalah hasanah, Rasulullah melakukan
dialog secara demokratis. Dialog yang demokratis, berarti tidak menghendaki
adanya pemaksaan dalam pendapat atau memutus argumen sebelum selesai
diutarakan. Hal demikian ditunjukkan melalui sikap beliau yang bersedia untuk
mendengarkan dengan seksama argumen yang disampaikan lawan sampai selesai, baru
setelah itu beliau mengutarakan argumen-argumennya. Dialog yang sehat seperti
ini, bukan tidak mungkin mengubah persepsi orang, - walaupun tidak menerima-
menjadi setidaknya menghormati. Perhatikan perubahan sikap yang terjadi pada
'Utbah Ibn Rabi'ah ketika selesai berdialog dengan Rasul. Inilah metode dakwah
Mujadalah hasanah seperti dicontohkan Rasul, dakwah yang tidak ada pemakasaan
pendapat, tidak ada pelecehan dan sabar dalam mendengarkan argumen lawan.
Wallahu
A'alam Bissawab.
[1] Yusuf al Qardlawi, Marji'iyyat al 'Ulya li al Qur'an wa al
Sunnah Dlawabith wa Mahazir li Fahmi al Tafsir, Alih Bahasa Baharuddin
Fannani, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt), h. 62.
[2] Hadits mengenai ini diriwayatkan oleh Muslim dalam redaksi yang
panjang dari 'Aisyah. Lihat Musim Ibn Hujaj al Qusyayri, Sahih Muslim,
(Mauqi' al islam), Juz 4, h. 104, hadits ke 1233.
[3] Sayyid Qutb, Tafsir Fî Zhilâl al Qur'ân, (Mauqi' al Islam),
Juz 4, h. 497.
[4] Ibid.
[5] Ibid, h. 498.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Abu Isma'il al Bukhari, Sahih Bukhari, (Mauqi' al Islam),
Juz 7, h. 24, hadist ke 1800 dalam Bab Puasa.
[9] Abu 'Abd Allah Ibn Muhammad Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad,
(Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 313, bagian
Musnad Sabiq.
[10] Muhammad Ibn Isma'il al Yamani al San'ani, Subul al Salam Syarh
Bulugh al Maram Min Jam'-I Adillat al
Ahkam, (Kairo: Dar al Hadist, 2004),
Juz 2, h. 233. Lihat Muslim Ibn Hujaj al Qursayry, Sahih Muslim, (Mauqi'
al Islam), Juz 5, h. 428, Bab Puasa, Fasal kaffarat Puasa. Muslim juga
meriwayatkan hadist dengan redaksi yang agak berbeda dengan riwayat Ibn
'Uyaynah, yaitu redaksi dari Muhammad Ibn
Muslim al Zuhri dengn Isnad yang sama. Hadist ini juga ditemukan dalam
kitab Sunan Abu Daud, lihat Sulaiman al Sijistani Abu Daud, Sunan Abu Daud,
(Mauqi' al Islam), Juz 6, h. 355. Lihat Juga Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,
(Mauqi' al Islam), Juz 5, h. 179. Lihat juga Abu 'Isa Ibn Muhammad Ibn 'Isa Ibn
Tsaurah al Turmudzi, Sunan al Turmudzi, (Mauqi' al Islam), Juz 3, h.
168.
[11] Nurkholis Madjid, Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di
Masa Transisi, (Jakarta: Paramadina, 2009), Cet. Kedua, h. 149.
[12] Ibid, h. 150.
[13] Lihat Ibn Hajar al 'Asqalani, Fath al Bâri Fi Syarh Sahîh al
Bukhâri, (Mauqi' al Islam), Juz 6, h. 188.
[14] Menurut QS al Baqarah/2: 187, orang yang berpuasa diharamkan
berjima' di siang hari dan diperbolehkan di malam hari. Bagi pelanggarnya,
hukumannya adalah disamakan seperti hukuman orang yang sumpah Zihar seperti
ditentukan dalam QS al Mujadilah/58: 4. Lihat Abu Walid Muhammad Ibn hmad Ibn
Rusd al Qurthubi al Andulusi, Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid,
(Beirut: Dar al Kutub al 'Ilmiyyah, tt), Juz 1, h. 222.
[15] Lihat QS al Baqarah/2: 215.
[16] Rasulullah bersabada
خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَابْدَأْ
بِمَنْ تَعُولُ
Lihat Abu Isma'il al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h.
247, hadist ke 1337 dari Abu Hurairah.
[17] Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h. 398, hadits ke
1422. Al Bukhari juga meriwayatkan hadits serupa dari jalur Abu Hurairah dan
Abu Zar sekaligus dengan sedikit perbedaan redaksi. Pada hadits tersebut hanya
disebut iman kepada Allah saja tanpa tambahan " wa Rasulihi"
dan menghilangkan lafal haji mabrur. Lihat Ibid, Juz 23, h. 93, Bab
Tafsir Qur'an.
[18] Muslim Ibn Hujaj al Qusayry, Op.Cit, Juz 1, h. 231, hadits
ke 118. Hadits yang terdapat dalam kitab Sahih Muslim tersebut hanya
menyebutkan iman kepada Allah seperti hadits Bukhari yang melalui jalur
tambahan Abu Zar. Muslim juga meriwayatkan hadits yang sama dengan redaksi
sedikit berbeda dari Abu Zar dengan menghilangkan tambahan haji mabrur seperti
hadits Bukhari dan ditambah lagi dengan pertanyaan " bagaimana
memerdekakan budak yang paling sempurna?" dijawab "…yang paling baik
dan paling mahal harganya" ditanya lagi " jika aku tidak bisa
mengerjakan" dijawab " engkau menolong orang yang mengerjakan
perbuatan baik" ditanya "jika aku lemah dari melakukan amal-amal
baik?" dijawab "..engkau mencegah diri kalian dari berbuat jahat
kepada manusia, hal demikian itu sesungguhnya menjadi sedekah atas diri
kalian…" lihat Musim, Ibid, Juz 1, h. 232 dalam bab penjelasan Iman
kepada Allah.
[19] Abu 'Isa Ibn Tsaurah al Tirmidzi, Op.Cit, Juz 6, h. 219,
hadits ke 1582. Lihat juga Abu al Fadl al Sayyid al Mu'athi al Naury, Musnad
al Jami', (Mauqi' al Islam), Juz 8, h. 78.
[20] Fathi Yakan, Kaifa Nad'u Ila al Islam, (Beirut: Muassasah al
Risalah, 1991), Cet. Ke 13, h. 28.
[21] Lihat Abu Isma'il al Bukhari, Op.Cit, Juz 23, h. 66, hadits
ke 6980 dari Ibn Mas'ud. Abu Daud meriwayatkan hadits yang redaksinya sama dari
Ummu Farwah dengan membuang tambahan birr al walidayni dan al jihad
fi sabilih. Lihat Sulaiman Ibn 'Ast'ats al Sijistani Abu Daud, Sunan Abu
Daud, (Mauqi' al Islam), Juz 2, h. 15, hadits ke 362, dalam Bab menjaga waktu
shalat.
[22] Lihat Sulaiman Ibn 'Asy'ats, Op.Cit, Juz 4, h. 94 hadits ke 1129. Dalam bab lain
melalui jalur yang sama Abu Daud menambah redaksi shadaqah apa yang paling
utama? Dijawab " melawan sifat kikir" kemudian ditanya lagi hijrah
apa yang paling utama?, dijawab " yaitu hijrahnya orang dari apa yang
diharamkan Allah kepadanya", ditanya lagi " jihad apa yang paling
utama?" dijawab " jihadnya orang melawan orang musyrik dengan jiwa
dan hartanya", ditanya lagi " mati apa yang paling mulia?"
dijawab " matinya orang yang tertumpah darahnya (karena membela kebenaran)
dan terluka tubuhnya. Lihat Ibid, h. 240, hadits ke 1238.
[23] Zain al Din Abi Faraj Ibn
Rajab al Hanbaly, Fath al Bary Li Syarh Sahih Bukhari, (Mauqi' al Durar
al Saniyyah), Juz 4, h. 18.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid, h. 19.
[27] Ibid, h. 20.
[28] Lihat Abu 'Abdullah Ahmad Ibn Hanbal, Op.Cit, Juz 36, h.
195, hadits ke 17121 dari Ziyad Ibn Nu'aim.
[29] Zain al Din Ibn Rajab al Hanbaly, Loc.Cit.
[30] Ibid, h. 18. 'Abdullah Ibn Mas'ud masih memiliki hubungan
darah dengan Rasulullah. Ia masuk islam ketika periode dakwah Mekah (di Dar al
Arqam) dan umurnya masih kecil (16 tahun) dan ia merupakan pemuda yang paling
dicintai Rasulullah. Setelah masuk Islam, Ibn Mas'ud berkhidmat pada dakwah
Rasulullah. Lihat 'Abdurrahman Ra'fat al Basya, Suar Min Hayat al Sahabah,
(Beirut: Dar al Nafa'is, 1992), Cet. Pertama, h. 98-99. Lihat juga Khalid
Muhammad Khalid, al Rijal Haula al Rasul, (Beirut: Dar al Kutub al
'Ilmiah, 2004), Cet. Kedua, h. 130.
[31] Abu Hurairah masuk Islam melalui orang sesukunya yakni Thufail Ibn
'Amr al Dusy pada tahun keenam setelah Hijrah setelah datang utusan Nabi kepada
kaumnya. Ketika masuk Islam, umurnya masih belia dan dia giat melayani Rasul
dan membantunya dalam berbagai keperluan dakwah. Lihat 'Abdurrahman Ra'fat al
Basya, Op.Cit, h. 480.
[32] Lihat Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 5, h. 298, hadits
ke 1365. Hadits ini diperoleh al Bukhari dari Umayyah Ibn Bushtham dengan
perbedaan redaksi hadits demikian " falyakun awwalu ma tad'uhum ilaihi 'ibadat Allah, dan " faizda 'arafu". Kemudian
pada akhir redaksi hadits tersebut juga terdapat perbedaan " fakhuz
minhum watawaqqa karaima amwal al nas".
[33] Ibid, Juz 5, h. 356, hadits ke 1401. Pada redaksi hadits ini digunakan kata "
faidza 'atha'u laka bidzalika" dan kata "karaima amwalihim".
[34] Ibid, Juz 13, h. 243, hadits ke 4000. Redaksi hadits ini digunakan kata "tha'u"
dengan menghilangkan hamzah.
[35] Ibid, Juz 22, h. 363, hadits ke 6824. Redaksi hadits ini
serupa dengan hadits yang pada bab kehormatan harta manusia, hanya saja pada
awal hadits digunakan kata "an yuwahidu Allah", kemudian kata
" fain fa'alu" pada bab ini diganti dengan kata "fain shallu".
Sedangkan kata " fain atha'u" pada hadits terdahulu diganti
dengan kata " fain aqarru".
[36] Lihat Muslim Ibn Hujaj al Qusayri, Op.Cit, Juz 1, h. 111,
hadits ke 27.
[37] Lihat al Tirmidzi, Op.Cit, Juz 8, h. 279, hadits ke 2475.
[38] Baca Ahmad 'Umar Hasyim, al Da'wah al Islamiyyah: Manhâjuha wa
Ma'âlimuha, (Kairo: Dar al Gharîb, tt), h. 17.
[39] Ibrahim Ibn 'Abdullah al Mutlaq, Tadarruj Fi al Da'wah Ila Allah,
(Arab Saudi: wizarat al Syu'ûn al Islâmiyyah wa al Auqâf wa al Da'wah wa al
Irsyâd Markaz Buhûts Dirâsat al Islâmiyah, 1992), Cet. Pertama, h. 12.
[40] Ibid, h. 14.
[41] Ibid, h. 15.
[42] Ibid, h. 21.
[43]Baca Ibid, h. 22-23.
[44] Ibid.
[45] Abu Ismail al Bukhari, Op.Cit, Juz 1, h. 92, hadits ke 51,
dari Syu'bah Ibn Abi Hamzah.
[46] Ibrahim al Muthlaq, Op.Cit, h. 36.
[47] Lihat Ahmad Ibn Hanbal, Op.Cit, Juz 45, h. 180, hadits ke
21185.
[48] Thabrani, al Mu'jam al Kabir Li al Thabrany, (Mauqi' al Hadits),
Juz 7, h. 177, hadits ke 7577.
[49] Al Bayhaqy, Syu'b al Iman Li al Bayhaqy, (Mauqi' al Sunnah),
Juz 11, h. 399, Hadits ke 5181.
[50] Shalih Ibn 'Abdullah al
Humaid, Mafhum al Hikmah Fi Da'wah Ila Allah, (Saudi Arabia: Mentri
Urusan Keislaman, Dakwah dan Pendidikan, 2001), h. 7.
[51] Sayyid Rizq Thawwil, al Da'wah Fi al Islam: 'Aqidah wa Manhaj,
(Mekah: Mathba'ah Rabithah al 'Alam al Islami, tt), h. 92.
[52] Ibid, h. 94.
[53] Ibid, h. 96.
[54] Ibid, h. 97.
[55] Lihat Abu Muhammad 'Abd al Malik Ibn Hisyam, Sirah Ibn Hisyam,
(Mauqi' al Islam), Juz 1, h. 292.
[56] Lihat Abu Fida' Ibn Katsir, Sirah Nabawiyyah Li Ibn Katsir,
(Mauqi' al Ya'sub), Juz 1, h. 501.
[57] 'Abdul Hamid Ibn Badis, al Durar al Ghaliyah Fi Adab al Da'wah
wa al Da'iah, (Riyadl: Dar al Manar, tt), h. 44.
[58] Ibid.
[59] Ibid.
terima kasih artikelnya.
BalasHapusbisnis online terbaru, mantap, klik www.kiostiket.com